Rahmah El-Yunusiyyah
Oleh MUSRIADI MUSANIF
(Wartawan Utama)
OPINI POTRETKITA.net - Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, adalah satu dari sedikit universitas di dunia, yang memiliki peranan besar di bidang pembangunan peradaban dan pengayaan ilmu pengetahuan.
ILUSTRASI MEDIASANTRINU.COM |
Lembaga pendidikan tinggi yang telah menghasilkan ribuan doktor (syaikh) sejak lebih dari seribu tahun lalu itu, takkan bisa lepas dari deretan lembaga akademis berpengaruh di dunia ini. Universitas Al-Azhar menjadi tujuan bagi pencari ilmu dari semua belahan dunia, tidak terkecuali dari Indonesia. Setiap tahun, tidak sedikit jumlahnya anak Indonesia yang belajar ke sana, baik dengan memanfaatkan beasiswa maupun dengan biaya sendiri.
MUSRIADI MUSANIF |
Satu dari sekian banyak hubungan tak terpisahkan itu adalah dengan penganugerahan doktor kehormatan (doctor of honoris causa) atau di Universitas Al-Azhar disebut syaikh kepada empat tokoh pendidikan dari Minangkabau, yakni Abdul Karim Amarullah yang dianugerahi doktor pada tahun 1926, Abdullah Ahmad (1926), Rahmah El-Yunusiyyah (1957), dan Buya Hamka (1961).
Yang menarik dari pemberian gelar akademik tertinggi itu, selain karena berasal dari Minangkabau dan tokoh-tokoh sentral pejuang pendidikan di negeri ini, fakta lainnya adalah penganugerahan gelar doktor honoris causa atau syaikhah kepada Rahmah El-Yunusiyyah. Menarik karena hingga kini, Rahmah adalah satu-satunya dari kalangan perempuan di dunia ini yang menerima gelar tersebut.
Namanya kini diabadikan sebagaimana nama yayasan, yaitu Yayasan Rahmah El-Yunusiyyah yang mengelola Perguruan Diniyyah Puteri, lembaga pendidikan berkaliber internasional yang didirikan Rahmah El-Yunusiyyah pada 1 November 1923. Sekolah tersebut kini telah berkembang pesat, memiliki sekolah sejak pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi.
Bukan hanya sekadar dianggap paling berjasa terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia, serta memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, sosok Rahmah El-Yunusiyyah pun telah menginspirasi Universitas Al-Azhar untuk mendirikan fakultas khusus untuk kalangan perempuan.
Rahmah El-Yunusiyyah yang mendirikan perguruan khusus perempuan bernama Diniyyah Puteri tersebut, sebenarnya tidak pernah mengecap pendidikan formal apapun. Namun, pendidikan yang dilaluinya adalah jalur perivat (home schooling).
Sejumlah ulama dan guru kenamaan pada masa itu, didatangkan oleh keluarganya untuk mengajari Rahmah berbagai ilmu pengetahuan. Guru-guru yang pernah didatangkan ke rumah untuk mengajar Rahmah di antaranya Inyiak Rasul, Daud Rasyidin, Abdullah Ahmad, Abdul Hamid Hakim dan M. Djamil Djambek.
Alamsjah Ratu Perwiranegara saat menjadi Menteri Agama pernah menyatakan, Rahmah merupakan satu dari sedikit tokoh-tokoh pendidikan Islam yang tampil menghadapi penjajah Belanda. Rahmah, jelasnya, telah berhasil membangun tunas-tunas bangsa yang mempunyai kesadaran bangsa dan agamanya yang sangat tinggi.
“Rahmah El-Yunusiyyah mempelopori kebangunan kaum wanita dan membangkitkan kesadaran kaum wanita untuk maju. Menurut Rahmah, putri Indonesia harus dibangun jiwanya dengan dibekali ilmu pengetahuan agama untuk dapat membangun dirinya, keluarganya dan bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat lahir dan batin,” kata Alamsjah.
Fakta sejarah memang membuktikan, dasar cita-cita Rahmah tercermin dari sistem pendidikan dan pengajaran yang diterapkan di lembaga pendidikan yang didirikannya: Diniyyah Puteri. Memang, aku Alamsjah, antara Rahmah dan Diniyyah Puteri sejatinya sudah senafas dan setujuan.
“Saat Syaikhul Azhar Prof. Dr. Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia pada tahun 1955, Perguruan Diniyyah Puteri menjadi salah satu yang dikunjungi. Apa yang beliau saksikan di sinilah yang menginspirasi berdirinya Kulliyatul Banaat alias Fakultas Perempuan di Unversitas Al-Azhar. Tiga tahun berikutnya, Diniyyah Puteri mengirimkan beberapa siswinya untuk belajar di Al-Azhar atas beasiswa Pemerintah Mesir,” terang Alamsjah.
Terkait dengan kunjungan Syaikhul Azhar, di tanah air terjadi kekeliruan pemaknaan terhadap jabatan yang disandang Abdurrahman Taj itu. Syaikhul Azhar itu bukan rektor, tapi di atas rektor. Setara dengan presiden atau perdana menteri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar