JAKARTA, potretkita.net - Tawuran masih tak bisa lepas dari remaja kita. Sepanjang Ramadhan ini, ada bayang-bayang tawuran, atau dikenal dengan perang sarung, membuat khawatir.
"Sebuah kenyataan ada di hadapan mata. Kegiatan positif anak membangunkan sahur menjadi peristiwa kelam, setelah ribuan anak dinyatakan diamankan kepolisian di berbagai daerah. Media merekam, di berbagai daerah terlaporkan anak-anak diamankan, berhadapan dengan hukum, berkonflik dengan hukum, dan berpotensi menjalankan masa pidana dalam proses yurisdiksi," kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra, M.Pd.
Menurutnya, perisriwa demikian terjadi pada Ramadhan ini pada sejumlah daerah, di antaranya DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Adapun sebaran daerahnya, kata Jasra, meliputi yang tersebar di berbagai titik yaitu Parung Panjang Bogor, Malang Jawa Timur, Jagakarsa Jakarta Selatan, Warakas Jakarta Utara, Tanggeran di Jatiuwung, Cipondoh, Kosambi, Tigaraksa, dan Ciledug.
Kemudian, Teluk Betung Bandar Lampung, Sukaraja Bogor, Cibadak Sukabumi, Makassar Jakarta Timur, Kalianak Surabaya, Marene, Muaro, dan Kota Jambi.
Ada juga di Lahat Sumsel, Margajaya Bekasi Selatan, Rangkasbitung Lebak Banten, Jatibening, Pondok Gede, Jatiasih Bekasi, Graha Raya Tangsel, Kemirimuka Beji Depok, dan Udanawu Blitar. Sampai berita ini dirilis, masih banyak daerah yang menginformasikan terjadinya perang sarung.
Sarung adalah simbol peribadatan, warisan budaya, peradaban yang sarat nilai luhur nan tinggi, karena dipakai pada peristiwa keluhuran dan kebaikan manusia. Namun apa jadinya, kata dia, ketika niat peribadatan melalui sarung berubah fungsi di tangan anak-anak, seketika itu mampu menjadi alat efektif kekerasan dan sangat mematikan.
"Itulah yang terjadi hari hari ini, dengan setiap hari media dan Kepolisian melaporkan tawuran dan asmara subuh yang semakin marak dan menular di berbagai tempat di waktu sahur dan tarawih. Memang persoalan anak berkumpul, tanpa pengawasan, waktu luang tanpa pendampingan di sela waktu ibadah, menjadi persoalan serius," ujar tokoh muda nasional asal Pasaman Barat itu.
Jasra menyebut, sudah sering terjadi ketika anak tidak mendapatkan ruang bermain sesuai dengan kebutuhan, minat atau hobby, ketertarikan dalam tumbuh kembang, ruang kosong dan waktu tanpa pendampingan, yang sesuai usia, pemahaman dan perkembangan anak.
Di beberapa peristiwa, sebutnya, terjadi sepanjang selepas Tarawih sampai Subuh. Itu artinya, anak-anak lepas pengawasan orang tua, terlepas pengawasan sekolah karena libur dan terlepas lingkungan.
Eskalasi kekerasan anak dan antar anak selama Ramadhan yang terus meningkat. Tentu, tegasnya, membawa keprihatinan dan mengusik kekhusyuan ibadah kita. Hal ini dibuktikan dari banyaknya laporan masyakarat dengan fenomena kekerasan di sebelum sahur, waktu sahur dan pasca sahur di Ramadhan.
Untuk itu, menurutnya perlu dipotret lebih utuh, pertama situasi anak anak dalam keluarga, terutama kewajiban dalam ibadah, apakah kewajiban itu diterima dengan sadar dan baik oleh anak, atau hanya sekedar rutinitas yang tidak dilekatkan makna, bahkan menyuruh anak ketempat ibadah dengan terjadi tekanan atau kekerasan.
Kedua, apakah rumah ibadah jadi tempat yang ramah anak atau mereka mendapatkan hal yang sama juga, ketika kering makna ibadah dan anak anak lebih bersifat mengusik ketenangan beribadah, sehingga anak anak tidak mendapatkan tempat yang baik, setelah mendapatkan masalah dari rumah.
Ketiga lingkungan, terutama TKP tempat perang sarung, apakah selama ini ada kepedulian untuk mencegah. Umumnya setiap lingkungan melaksanakan patroli tawuran setiap sahur, namun apakah sudah tahu latar belakang dari setiap anak dan keluarganya.
Keempat, ketika anak anak sudah ditangkap dan diamankan, pertanyaanya apakah tidak menjadi stigma anak yang berujung justru meningkatkan ekskalasi pembalasan. Apalagi situasi dirumah tidak berubah setelah anak mendapatkan perhatian dari Kepolisian dan Muspida setempat.(musriadi musanif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar