JAKARTA, potretkita.net - Kasus ancaman terhadap warga Muhammadiyah oleh oknum ASN pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); TD dan APH, juga ramai diperbicangkan di kalangan anggota DPR RI.
BACA JUGA
- Oknum Staf Sebut akan Bunuh Warga Muhammadiyah
- MPK-SDI PWM dan DPD IMM Sumbar Desak Polisi Usut Ancaman Pembunuhan
- Mudir Pesantren Payakumbuh Dipolisikan
Ada yang mengecam dan mendesak kepolisian merespon cepat pengaduan warga Muhammadiyah, atas dugaan ancaman dan penistaan itu, ada juga yang moderat dengan menawarkan solusi di luar proses hukum.
Anggota DPR RI Saleh Partaonan Daulay, mengecam tindakan oknum peneliti BRIN yang hendak membunuh warga Muhammadiyah. Ia menegaskan, pernyataan oknum peneliti berinisial APH yang menghalalkan darah semua warga Muhammadiyah itu, tidak pantas disampaikan seorang aparatur sipil negara (ASN).
Menurutnya, ancaman yang disampaikan ASN itu sangat menodai kerukunan umat beragama. Banyak warga negara yang merasa was-was, khawatir, bahkan takut.
"Menghalalkan darah itu sama dengan ancaman membunuh. Itu pernyataan sangat serius dan berbahaya. Ini bukan delik aduan. Kalau ada ancaman membunuh seperti itu, aparat penegak hukum harus segera mengambil langkah. Paling tidak pelakunya diamankan terlebih dulu, diperiksa dasar dari pernyataannya," ucapnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno, mendesak BRIN menindak tegas oknum Peneliti BRIN berinisial APH, yang yang diduga mengancam warga Muhammadiyah di sosial media. Eddy mengatakan, ancaman tersebut tidak dapat dibenarkan.
"Sebagai wakil ketua Komisi VII DPR yang membidangi (bermitra) BRIN, saya mendesak adanya tindakan tegas dari BRIN, terhadap oknum ASN yang diduga mengancam akan membunuh warga Muhammadiyah itu. Ancaman seperti itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun," kata Eddy, sebagaimana dirilis laman resmi dpr.go.id.
Walaupun beredar permintaan maaf dari APH, Eddy menilai, BRIN harus tetap menindak tegas sesuai aturan disiplin bagi ASN.
"Ancaman pembunuhan itu meresahkan dan melukai warga Muhammadiyah. Walaupun sudah ada permintaan maaf dari yang bersangkutan, sebagai pimpinan di Komisi VII DPR, saya tetap meminta kepala BRIN sebagai mitra kami untuk menindak tegas ASN tersebut," ujarnya.
Eddy menegaskan, Komisi VII DPR RI akan memanggil BRIN untuk meminta penjelasan, terkait ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah itu, dalam rapat kerja pada masa sidang mendatang.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi, mengutuk komentar yang dilontarkan peneliti BRIN di sosial media, terkait ancaman kepada warga Muhammadiyah soal perbedaan penetapan Idul Fitri 1444 Hijriah.
Ashabul menilai, sikap oknum peneliti astronomi BRIN dengan inisial APH itu, mendegradasi keilmuan dan merupakan bentuk ujaran kebencian.
"Sebagai ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi agama dan sosial, saya sangat mengutuk atas setiap sikap dan tindakan atas nama intelektualitas, yang mendegradasi satu kebenaran lain, sebagai produk dari sebuah metode ilmu yang diakui dengan ujaran kebencian, yang dapat merusak tatanan sosial keagamaan dan kemasyarakatan," katanya.
PROSES HUKUM
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan, cara oknum peneliti BRIN berinisial APH yang melakukan ancaman terhadap warga Muhammadiyah itu, mirip intimidasi dan agitasi ala PKI di era 1960-an. Karena itu, Nasir mendukung kepolisian untuk memproses hukum kasus ini.
Nasir mengatakan, sangat tidak layak dan patut seorang ASN yang bekerja untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman tersebut. Apalagi, ancaman itu dialamatkan kepada Muhammadiyah, organisasi besar Umat Islam di Indonesia.
Dijelaskannya, penyataan oknum peneliti BRIN ini, secara langsung atau tidak telah mengancam perbedaan sikap beragama di Indonesia. Dalam perkara ini, ujarnya, pihak kepolisian akan menangani kasus ini. Pihak Bareskrim Mabes Polri sudah melakuan profiling pernyataan APH yang mengancam warga Muhammadiyah.
Nasir mengatakan, langkah APH yang meminta maaf atas perbuatannya harus dihormati. Namun, proses hukum juga harus ditegakkan dalam rangka untuk menjaga supremasi hukum. "Semoga polisi bertindak cepat dan akurat serta objektif,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.
Berbeda dengan Nasir, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni berharap, kasus diselesaikan secara restorative justice. Sahroni menyebut yang bersangkutan juga sudah meminta maaf dan akan diberi sanksi etik.
Restorative justice adalah alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan, yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait. Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.
"Update terakhir yang bersangkutan sudah minta maaf, dan institusi BRIN pun sudah secara resmi meminta maaf kepada Muhammadiyah. BRIN pun akan melaksanakan sidang etik ASN," katanya.
Karena itulah, Sahroni menilai kasus tersebut lebih baik diselesaikan secara restorative justice. Dia melihat, jika kasus ini diperpanjang, itu justru akan memperuncing perbedaan soal Idul Fitri.
"Saya pikir dalam suasana Idul Fitri ini, kasus ini lebih baik diselesaikan dengan restorative justice saja. Kalau kasusnya diperpanjang, otomatis akan menambah cerita perbedaan soal hari raya ini," ucap Politisi Fraksi Partai Nasdem itu.(*/mus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar