LIMAPULUH KOTA, POTRETKITA.net – Gambir adalah cerita tentang kehidupan manusia. Sejak zaman penjajah Belanda hingga kini, komoditas ekspor asal Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, olahan getah yang ‘dikampo’ itu sudah jadi budaya masyarakat.
Jorong Kampuang Tangah, Nagari Talang Maur, Kecamatan Mungka, merupakan salah satu sentra gambir yang hingga kini masih diperhitungkan di Indonesia. Kendati harga jual di tingkat petani fluktuatif dan turun naik, namun posisinya tetap primadona dalam usaha meningkatkan perekonomian rakyat.Cerita tentang petani yang merugi, karena harga tiba-tiba anjlok, menjadi bagian lain dari dinamika perkebunan gambir di Limapuluh Kota.
Di sisi lain, di Kota Payakumbuh dan Limapuluh Kota, nama Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UM Sumbar) sudah lama dikenal. Kebetulan di situ berkampus Fakultas Pertanian. Nah, mencermati derita dan dinamika hidup petani gambir di Talang Maur, UM Sumbar pun mengambil inisiatif.
Beberapa waktu lalu, para petani gambir difasilitasi untuk berdialog dengan Kementerian Koordinator Perekonomian RI. Pejabat yang diutus adalah Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dr. Musdhalifah Machmud.
‘’Ini perlu kita fasilitasi. Aktifitas pengolahan gambir di Mungka sudah berlangsung lama, namun belum ada skema pengolahan dari hulu sampai ke hilir. Polanya masih belum jelas. Semoga apa yang kita lakukan ini menjadi langkah awal yang baik dalam memberdayakan petani gambir,’’ kata Much. Abdi, wakil rektor III UM Sumatera Barat.
Selain soal skema pengolahan, Wakil Bupati Limapuluh Kota Rizki Kurniawan Nakasri mengatakan, harga yang kerap anjlok, kekurangan tenaga kerja, dan modernisasi alat dari manual ke sistem hidrolik merupakan masalah lain yang kini sedang dihadapi petani gambir. Semua itu, katanya, butuh solusi cepat dan tepat.
Wabup pun meminta kepada pemerintah pusat, semoga dapat difasilitasi pengadaan alat hidrolik itu, sekaligus mengaktifkan sistem resi gudang dengan dukungan perbankan. ‘’Kita dirikan pabik katekin dan tanin di Limapuluh Kota ini,’’ katanya.
Sementara itu, mengutip keterangan sumber resmi pemerintah dari infopublik.id, seniat dengan pemerintah kabupaten dan jajaraan UM Sumbar, pihak kementerian pun ingin membantu dalam usaha menjawab ratap tangis petani gambir. Selama ini, mereka terbelenggu mekanisme pembentukan harga gambir yang cerderung tidak memihak.
Musdhalifah mengakui, Limapuluh Kota termasuk kelompok penghasil besar gambir di Indonesia. Itu artinya, ujar dia, seharusnya petani gambir sudah sejahtera. Gambir itu, sebutnya, merupakan komoditas penting untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor, karena menjadi bahan baku industri farmasi seperti pasta gigi, kosmetik, penyamakan kulit, pewarna, dan bahan industri makanan.
‘’Gambir
semestinya kita tangani dengan profesional. Kita tahu pasarnya sudah ada.
Sekarang kita tinggal meningkatkan nilai tambahnya melalui inovasi. Tapi
semuanya butuh proses. Untuk meningkatkan nilai jual tentu perlu perbaikan
kualitas produksi, sehingga dapat meningkatkan daya tawar produk kita,’’
ujarnya.
Menurut Badan Litbang Kementerian Pertanian, tanaman gambir memang banyak terdapat di Sumbar, terutama di Kabupaten Limapuluh Kota dan Pesisir Selatan. Kalau di Padang Pariaman, Pasaman, Solok, Sawahlunto, dan Sijunjung, tanaman gambur itu masih diusahakan secara terbatas.
Bagi sebagian warga, gambir biasanya digunakan untuk menyirih. Gambir juga digunakan untuk obat luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, penyakit kilit, dan bahan pewarna tekstil. Negara tujuan ekspor gambir Indonesia terbesar adalah India. Permintaan negara ini meningkat 13-14 ribu ton per tahun.
Indonesia pemasok 80 persen komoditas gambur di pasar dunia. Selain India, ekspor gambir Indonesia juga sampai ke Jepang, Pakistan, Filipina, Bangladesh, dan Malaysia. Sumatera Barat, menurut Musdhalifah, memasok 80-90 persen dari total produksi fambir nasional. Sekitar 90 persen produksi gambir Sumatera Barat berasal dari Limapuluh Kota.(mus)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar