Oleh MUSRIADI MUSANIF, S.Th.I
(Wartawan Utama/Korda Harian Umum Singgalang Kabupaten Tanah Datar)
OPINI, potretkita.net - Dalam kajian-kajian biografi pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga kini, nama Haji Agus Salim lebih banyak disebut sebagai seorang politisi, diplomat ulung, seorang ahli bahasa.
![]() |
Haji Agus Salim (kabarpadang.com) |
Padahal, the grand oldman itu juga seorang tokoh jurnalistik ternama. Haji Agus Salim tidak hanya menjadikan dunia jurnalistik sebagai media perjuangan, tetapi juga menjadikan dunia tulis-menulis yang akrab dengan sebutan pers itu sebagai sebuah profesi terhormat.
Haji Agus Salim membawa sebuah konsep bahwa setiap perjuangan haruslah diiringi dengan publikasi yang mantap. Haji Agus Salim menyadari, jurnalisme adalah sebuah kekuatan besar di tengah-tengah masyarakat demokratis. Kekutan jurnalistik, terbukti mampu meruntuhkan kekuasan otoriter.
Wajar saja, oleh masyarakat demokratis, pers sebagai buah kerja jurnalisme dimasukkan ke dalam kelompok pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Untuk urusan jurnalistik, nama Haji Agus Salim dapat disandingkan dengan aktifis pers sekaliber HOS Cokroaminoto, Prof. Dr. Hamka, Muhammad Natsir, Isa Ansyary, Muhammad Said dan sedertan nama hebat lainnya. Bahkan, oleh beberapa kalangan, kepiawaian Haji Agus Salim sebagai seorang profesional di bidang jurnalistik, dapat disetarakan dengan tokoh Islam internasional sekaliber Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Konsep-konsep jurnalisme islami dipekenalkan Haji Agus Salim ke tengah-tengah masyarakat. Dia nampaknya menyadari, sebuah produk jurnalisme haruslah dihasilkan oleh para jurnalis yang jujur, berdedikasi dan punya arah perjuangan yang jelas.
Ibarat sebuah pedang, bila dipegang oleh orang baik, maka dia akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan peradaban. Tapi bila pedang itu dipegang oleh orang gila atau orang yang tidak bermoral, maka dikhawatirkan, alat itu justru akan membuat kekacauan dan mencelakakan umat manusia.
Salah seorang wartawan senior Harian Umum Waspada terbitan Medan, Abdul Khalik, dalam artikelnya berjudul Jurnalisme Profetik dan Islamisasi Wartawan menegaskan, seluruh informasi yang terjadi di media massa, bermula dari kerja wartawan di lapangan untuk kemudian meraciknya menjadi sebuah berita.
Andai saja sebagian besar pekerja pers itu telah dibekali nilai-nilai profetik, bisa jadi, pesan yang sampai ke masyarakat adalah pesan yang mencerahkan dan bukan menyesatkan, apalagi bernuansa fitnah dan adu domba. Haji Agus Salim, sebutnya, termasuk kelompok orang yang memperjuangkan cara kerja jurnalisme demikian.
Karena minimnya referensi tentang tokoh-tokoh pers yang kini beredar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, termasuk dokumen-dokumen sejarah, maka nama Haji Agus Salim termasuk pejuang kemerdekaan yang jarang pula disebut di dalam kajian sejarah jurnalistik di Indonesia.
Padahal peran yang beliau mainkan tidak kalah pentingnya dengan tokoh-tokoh pers lain. Namun sebenarnya, menelusuri kiprah Haji Agus Salim di bidang pers selaku seorang praktisi, dapat ditelusuri dari peran yang dimainkan sejak HOS Cokroaminoto.
Dalam sebuah opininya yang dimuat di Harian Umum Kedaulatan Rakyat Yogyakarta edisi Jumat, 15 Oktober 2010, Hendra Sugiantoro menyebut, Cokroaminoto yang segerak seperjuangan dengan Haji Agus Salim merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi tokoh pergerakan.
Ketokohan Cokroaminoto di bidang jurnalistik dapat dilihat dari perannya yang demikian besar di Oetoesan Hindia. Suratkabar ini tercatat sebagai tempat para tokoh Sjarikat Islam menyampaikan gagasan-gagasannya secara tertulis. Menurut catatan sejarah, Oetoesan Hindia yang menggunakan bahasa Melayu itu dipimpin Cokroaminoto sejak pertama kali terbit Desember 1912.
Menurut Hendra, surat kabar yang mengemban jurnalisme Islam tersebut didukung oleh suatu lembaga usaha bernama Setija Oesaha yang didirikan seorang pedagang Arab, Hasal Ali Soerati. Pada tahun 1913, Cokroaminoto membeli semua saham Setija Oesaha. Dengan demikian, sejak itu pulalah Oetoesan Hindia seratus persen berada di bawah kendali Cokroaminoto. Pada tahun itu juga, Cokroaminoto menerbitkan pula Fadjar Asia.
Suratkabar Oetoesan Hindia, terbit lima hari dalam sepekan. Isinya mencakup berita, opini dan iklan. Sama persis dengan isi surat kabar modern yang beredar hari ini. Menariknya, dalam kondisi jaringan telekomunikasi dan informasi yang demikian terbatas pada zamannya itu, suratkabar yang beliau pimpin mampu menghadirkan berita-berita nasional dan internasional secara mantap, berimbang dan tidak memihak. Sebuah konsep jurnalisme yang sulit ditemukan pada masa itu.
Kendati demikian, Cokroaminoto tetap memberi ruang yang amat luas terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam di negeri jajahan bernama Hindia Belanda. Lewat media inilah, para aktifis menumpahkan gagasan mereka menentang kapilatisme dan soal-soal lain.
Dengan demikian dapatlah diketahui, lewat media Oetoesan Hindia, gerak perjuangan Syarikat Islam dapat terbaca dengan jelas. Haji Agus Salim, termasuk tokoh Syarikat Islam yang banyak menuangkan gagasan dan pelawanannya. Setara dengan apa yang dilakukan Abdoel Moeis, Suryopranoto, Tirtodanudjo, Soekarno dan lain-lain.(MUSRIADI MUSANIF, artikel ini pernah dijadikan bahan ajar oleh penulis di STBA H. Agus Salim Bukittinggi --bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar