KASUS kekerasan terhadap anak selama pandemi, lebih banyak terjadi di keluarga. Namun jelang bolehnya kembali anak masuk sekolah, wajah kekerasan pendidikan kembali dimulai. Padahal Kemendikbud telah memiliki Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Memang tidak mudah mendidik, apalagi dengan rasio mendidik lebih dari satu anak, namun bukan berarti tindak mempermalukan di depan umum dibenarkan, seperti yang terjadi pada anak kelas 1 SD di Bau Bau Sulawesi Tenggara.
Anak-anak memiliki hak untuk rasa aman, rasa dilindungi dan rasa dihargai. Apakah dengan mempermalukan di depan umum, menyebabkan anak kelas 1 SD itu bisa menghitung? Tentu bisa kita kaji bersama kebenarannya. Namun dengan menyebarkan di mendos oleh guru, sepertinya sangat tidak tepat.
Kita sedang membayangkan, ketika anak di rumah di-bullying, di sekolah di-bullying, di lingkungan di-bullying, maka lalu siapa yang akan menyelematkan mereka. Untuk itu kita perlu duduk bersama kembali, mencari solusi untuk anak kelas 1 SD ini, namun belum selesai mencari solusi, kejahatan sudah lebih siap mengambilnya.
Untuk itulah sistem harus bicara kebutuhan anak, tentang rekomendasi mereka di HAN 2021, tentang kebutuhan kesehatan jiwa dari setiap anak, yang lebih spesifik, personal, dan menyelami setiap anak, agar mereka selamat. Ada kebutuhan berbeda dari setiap anak, dalam menjalani hari hari belajarnya. Jika mereka selamat, maka kita optimis Indonesia masih ada di tangan mereka ke depan.
Dalam Sisdiknas dinyatakan mendidik adalah usaha sadar, tentu saja usaha sadar sangat memperhatikan setiap individu yang unik dan memiliki perbedaan, artinya mendidik itu sangat personal. Karena sangat personal tentu di dalamnya menuntut adanya kedekatan, kehangatan, kelekatan dengan yang diajarkannya. Bukan justru menjadi guru yang paling tidak disukai di mata murid.
Tentu saja, segala upaya tersebut dilakukan karena alasan mendidik dan terdidik, dengan memperhatikan kode etik bekerja dengan anak, safe child guarding, yang patut kita dorong bersama dari masalah ini. Karena di mata saya lebih nampak kegagalan komunikasi guru dan orang tua, dalam rangka menciptakan lingkungan belajar bagi siswanya. Alih-alih menyelamatkan anak dengan ramai di sosial media, justru semakin terus mempermalukan anak di depan umum.
Dalam kasus ini, kita sedang tidak bicara benar atau salah. Karena ada yang penting segera diperkuat dari seorang guru, yaitu mengelola atau memanajemen stres ketika menghadapi murid muridnya. Jangan sampai kejadian ini dibiarkan sekolah. Karena jika luapan emosi negatif tidak terkontrol, akan membawa situasi yang lebih buruk bagi sang guru.
Begitupun anak-anak, biasanya terjadi stigma, karena dianggap anak malas akibat tugas-tugas sekolah tidak terlaksana dengan baik. Hal tersebut terjadi karena dianggap ‘berbeda’ dengan murid-murid yang lain, kondisi dan akses pembelajaran selama pandemi di rumah. Orang tua tidak aktif di perkumpulan orang tua murid, yang menyebabkan situasi buruk untuk anak.
Hal itu benar-benar terjadi di masa pandemi, dengan kejadian pada 26 Oktober 2021, ada guru di Alor membunuh muridnya, akibat tidak mengerjakan PR. Dengan tangan sang guru menghantam kepala sang anak. Artinya pandemi ini memberi dampak fatality ke setiap individu, termasuk guru. Apakah merasa tidak dihargai selama ini oleh muridnya, karena belajar PJJ? Apakah perbuatan muridnya selama di PJJ membawa dampak ke sang guru? Tentu masih harus di cross check lagi kebenarannya. Tetapi bila masa transisi PJJ ke PTM ini tidak diperhatikan, maka akan banyak gangguan perilaku yang muncul di dunia mendidik.
Sekolah juga sering lupa, mereka menjadi keluarga kedua bagi anak. Bayangkan seperti peristiwa di Bau Bau ini, ketika anak tidak selamat di lingkungan pertama keluarganya yaitu rumah, kemudian tidak selamat di lingkungan keluarga keduanya yaitu sekolah dan kemudian tidak selamat di lingkungan ketiganya yaitu lingkungan terdekat sekitarnya, maka anak anak akan sangat mudah mendapatkan perlakuan salah selama hidupnya.
UU PA Nomor 35 tahun 2014 menyebutkan dalam Pasal 9 ayat 1.a bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain
Yang diperjelas didalam Pasal 54 ayat (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Dilanjutkan ayat (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.”
Artinya Sekolah juga jangan lupa, mereka juga menjalankan fungsi perlindungan, serupa dengan perlindungan keluarga, yakni pengasuhan anak sepernuhnya. Karena guru menggasntikan fungsi orang tua anak selama 8 jam. Artinya sesuai UU Perlindungan Anak, lembaga yang berani mengambil peran keluarga dalam perlindungan anak, punya tanggung jawab yang sama dengan apa yang dilaksanakan dari rumah. Artinya sekolah tidak terlepas dari fungsi hanya sekedar mengajar. Apalagi kita sedang bicara anak kelas 1 SD
Bullying seringkali dipandang permissif, apalagi jika pelakunya dianggap memiliki kewenangan yang lebih kuat (relasi kuasa). Sehingga menempatkan anak anak (korban) dalam rehabilitasi yang sangat minim. Sehingga tidak ada upaya serius dalam merehabilitasi korban bullying seperti yang dialami anak ini. Apalagi dianggap masih kelas 1 SD.
Namun sekali lagi, ini bukan ajang untuk mempermalukan guru, orang tua dan anak. Tetapi harus ada kesadaran bersama, bahwa proses belajar, mengajar sampai anak merasakan di didik dan sadar perlu upaya bersama. Didiklah anak sampai anak anak merasa memiliki guru yang dicintai dan diidolakannya. Apalagi ini kebutuhan perkembangan anak kelas 1 SD yang masih butuh figur pelindung, figur teladan, figur yang mengajak.
Kita juga berharap besar rekruitmen guru honorer menjadi Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, yang selanjutnya disingkat PPPK, benar benar melahirkan guru yang menjadi ujung tombak dalam melindungi anak-anak di satuan pendidikan.
Janganlah konsep merdeka belajar yang diusung selama 2 tahun pandemi ini, berakhir menjadi tangisan. Karena anak sudah mengalami loss learning, loss protection dan terakhir loss generation. Sekolah harus segera membenahi ketertinggalan ini, guru guru harus lebih berbesar jiwa dan hati dalam menerima murid muridnya, pasca 2 tahun belajar dari rumah. Tentu juga harus diiringi kebijakan yang membangun dunia yang ramah di institusi pendidikan, pasca anak lebih banyak belajar dari rumah.
Begitupun target pendidikan yang di wajibkan dari manajemen bisnis sekolah, juga harus aware kepada beban ini. Bukan malah menghakimi murid murid mereka, pasca pandemi. Tentu orang tua juga harus mendukung upaya sekolah mengejar ketertinggalan pembelajaran akibat pandemi.
Kita harus flashback lagi, sudah terlalu banyak kisah anak terjerumus dalam kejahatan, bukan karena luka fisik, tapi luka batin yang tidak terobati sejak kecil. Gizi jiwa yang harusnya menjadi komponen utama sekolah, sebagai usaha sadar bersama, mau belajar, mau mendidik dan terdidik. Namun perhatian sekolah terhadap kondisi tumbuh kembang, kondisi psikologis anak, masih sangat jarang dibicarakan, padahal ini faktor penting anak mau belajar.
Integiritas masih menjadi masalah besar bangsa kita, dalam dunia mendidik, karena pendidikan bisa membuat orang pintar, tapi belum tentu memiliki integritas yang tinggi di keluarga, sekolah, lingkungan kerja, bahkan ketika memiliki kewenangan yang besar untuk menyelamatkan bangsanya. Cukuplah dunia koruptif orang terdidik menjadi wajah buruk buah pendidikan, saat ini. Kurang pintar apa, mereka yang tertangkap di KPK dalam mengeyam dunia pendidikan. Sekali lagi, ini perlu menjadi kesadaran bersama sejak dini, dan kita berharap besar dari para guru.
Sepertinya sekolah harus mengingat lagi pesan Mas Menteri atas 3 dosa sekolah. Pertama pendidikan intoleran, pendidikan perundungan, dan kejahatan kekerasan seksual, yagn seharusnya tidak terjadi atas nama usaha sadar mendidik dari lembaga pendidikan.
Fenomena kekerasan adalah fenomena saat anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.
Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya.
Begitupun, fenomena gangguan perilaku yang menghiasi media selama pandemi, dengan gejala ringan sampai berat, pemicunya bisa sangat banyak, namun agresifitasnya bisa berbahaya bila tidak terkontrol. Ini juga bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak, guru dan orang tua, karena menjalani 2 tahun selama pandemi di rumah.
Untuk itu perspektif pemulihan jiwa anak harus kuat, sekuat program pemulihan ekonomi, yang sedang dijalankan pemerintah, Jika masa transisi pendidikan dari PJJ ke PTM mau berhasil. Tentu tak kalah pentingnya, dengan segera melaksanakan vaksin untuk anak anak kita
Semoga tidak ada lagi anak anak yang dihakimi di depan umum, karena belum menemukan cara pola belajar. Karena sejatinya anak akan terus belajar karena itu kebutuhan esensialnya dalam bertumbuh dan berkembang.***
Salam Hormat,
Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar