Barus, Kelompok Sufi, dan Penyebaran Islam di Nusantara - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

02 November 2021

Barus, Kelompok Sufi, dan Penyebaran Islam di Nusantara


BARUS
yang kini berada dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sejak dahulu dikenal sebagai sebuah kota pelabuhan.


Kota tua di pantai barat Sumatera ini banyak disebut para penjelajah asing yang masyhur, seperti dari Yunani. Ptolomaeu, di dalam naskah yang berjudul Priplous Tes Erythras (70 Masehi) mengatakan “Orang-orang India dan Yunani telah berdagang sampai Chryse Chersonesos” yang diperkirakan sebagai Barus dan Lobu Tuo.

Tugu Nol Kilometer Islam Masuk ke Nusantara, dibangun di Pantai Barus.

Selanjutnya, Pendeta Buddha I-Tsing (671 Masehi) menyebut juga, orang-orang Arab sudah banyak berdagang di pesisir Barat Sumatera. Ibnu Chord Hadbeh (846 M) menyebut juga bandar Barus. Pelaut Sulaeman (857 M) juga singgah di Bandar ini. Selain itu, Prof. M. P. Rivet mengatakan 6000 tahun yang lalu, bangsa pelaut Oceania (Indonesia) bertebaran sampai ke Afrika Sumeria, Babylonia, Australia, Amerika Selatan dan sebaliknya (Meuraxa 1973: 14–15).


Bukti wilayah Barus menurut per tanggalan paling tua sebagai lokasi yang sering disinggahi oleh orang luar Nusantara, adalah prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua yang berbahasa Tamil. Hal ini menunjukkan, sudah adanya interaksi dengan bangsa lain di bandar Barus.


Tidak jauh dari Barus terdapat daerah bernama Kedai Gadang yang banyak ditemukan keramik yang menunjukkan ciri abad 14–18 M. Diperkirakan, keramik tersebut berasal dari masa Yuan hingga Ching yang banyak bercampur dengan keramik Eropa (Ambary 1979: 12-13). Prasasti dari Lobu Tua tersebut hingga kini menjadi bukti tertulis paling tua, memiliki angka tahun 1088 M. Menurut K.A. Nilakanta Sastri, diperkirakan berasal dari serikat dagang Tamil.

Suasana berziarah di Makam Papan Tinggi.

Tome Pires menerangkan: “Kami sekarang harus berceritra tentang Kerajaan Baru yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua” (Cortesao 1944: 161—162).


Bila berdasarkan pendapat tersebut, maka Barus dan Lobu Tua merupakan bandar pelabuhan yang sudah ada sejak awal Tarikh Masehi, dan terus berkembang hingga masuk ke masa munculnya Islam di Timur Tengah pada Abad ke-7 Masehi.


Banyak catatan-catatan sejarah menyebutkan, kedatangan orang-orang Islam yang mengunjungi wilayah Nusantara pada Abad ke-7 Masehi merupakan saudagar. Para saudagar ini singgah di wilayah Sumatera dalam perjalanannya menuju ke Cina. Wilayah Barus sebagai bandar teramai pada masa lalu, merupakan satu dari bandar yang disinggahi oleh para saudagar tersebut.


Berdasarkan catatan, nama Barus dikenal juga dalam berbagai nama lain, India menyebutnya sebagai Balus, orang Arab Sulaeman menyebut Fansur dekat Barus, orang Cina menyebutnya Pan thsuh-rh atau P Lou Zhe. Nama Barus dapat juga diartikan sebagai penghasil utama kapur barus, bahan yang biasa digunakan untuk mengawetkan. Pedagang Arab menamakan kamper dengan al-kafur yang didapat dari Barus.


Perjalanan untuk mendapatkan barang tersebut hanya dapat dicapai dengan perjalanan laut. Begitu juga pedagang Cina mendapatkan barang tersebut dari pantai sebelah barat Sumatera (de Casparis 1961: 14). Catatan lain dari buku sejarah Melayu terbitan Pujangga Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menerangkan, ada seorang Syekh bernama Ismail yang diutus oleh Sarif Mekkah membawa Quran ke Pasai, tetapi rupanya negeri yang dituju belum begitu dikenal, sehingga Syekh Ismail pertama sampai di Barus dan kemudian mengislamkan penduduk Barus (Meuraxa 1973: 22–25).


T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyebut, menurut berita Cina pada tahun 674 M, telah ada seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pemukiman bangsa Arab di pantai Barat Nusantara (Barus) (Arnold 1935: 364—365).


Hubungan antara Barus dan Persia Kuno di wilayah Asia Tengah pun jelas sudah ada sebelum zaman Lobu Tua. Kamper dikenal pada masa kemaharajaan Sassanid pada abad ke-4 M. Kamper masuk ke dalam daftar obat-obatan peradaban Sassanid pada abad ke-6 M dan bahwa pada abad berikut, pasukan Arab Islam menemukan tempayan yang berisi kamper ketika merebut istana Ibu Kota Ctesiphon.


Hubungan antara Barus dan Teluk Persia terjalin pada abad ke-9 M dan ke-10 M. Selanjutnya hubungan Barus dengan negeri Mesir sekitar abad ke-10 M berdasarkan mata uang perak yang ditemukan di Fustat, yang telah diidentifikasikan sebagai mata uang dari Barus oleh R. Wicks, 1997. Sejak abad ke-14 M, Barus telah menjadi salah satu pusat Islam yang pertama dan paling penting di Sumatera (Guillot 2008: 57—58).

Makam Syech Machmud di Pemakaman Papan Tinggi.

Masuknya Islam ke wilayah Barus dapat dilihat berdasarkan persebaran pemakaman kuno Islam di wilayah tersebut. Situs Makam Barus yang sekarang berada di wilayah Kecamatan Barus dan Barus Utara, terdiri atas beberapa kompleks makam kuno Islam yang di dalamnya banyak ditemukan nisan-nisan Islam dengan beberapa inskripsi Arab.


Sebagian besar nisan-nisan yang ada di kompleks pemakaman Barus dan Barus Utara sudah banyak dibahas oleh para ahli. Terakhir adalah Claude Guillot dalam bukunya “Barus Seribu Tahun yang Lalu”, yang dalam bab terakhirnya menjelaskan beberapa teknik epigrafi dalam menelaah nisan-nisan tersebut. 


Nisan-nisan yang ada di Situs Makam Barus menunjukkan Islam sudah berkembang di Barus. Berdasarkan papan pengumuman yang ada di Kompleks Makam Mahligai terdapat makam tertua yakni pada Tahun 44 H atau sekitar abad ke-7 M. Akan tetapi, tentu masih harus ditelaah lebih lanjut isi dari nisan tersebut. Beberapa nisan diidentifikasi memiliki dua bahasa, yakni bahasa Arab dan Persia (Guillot 2008: 297). Hingga kini masih menjadi perdebatan beberapa ahli mengenai kapan Islam mulai masuk ke wilayah Barus.


WUJUDKAN NIAT ANDA BERZIARAH KE BARUS

HUBUNGI VIA CHATTING WHATSAPP KE NOMOR 081363119119


Penelitian lanjutan mengenai tinggalan makam-makam Islam di Barus coba dikaji oleh tim riset kluster dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2018 yang lalu. Tim yang terdiri atas Bastian Zulyeno, Ghilman Assilmi, & Chaidir Ashari mencoba mengkaji mengenai identifikasi tokoh-tokoh yang dimakamkan berdasarkan nisan untuk melihat peran penting penyebar awal Agama Islam di Nusantara.


Berdasarkan hasil riset tersebut banyak diketemukan kemiripan dan kesamaan bentuk batu nisan di pemakaman kuno Barus dengan batu nisan khas Persia, terutama nisan dengan bentuk tiang berdiri seperti Mihrab, di Persia nisan dengan bentuk ini dapat dijumpai pada makam yang berasal dari periode Islam.


Hampir semua batu nisan dari tokoh-tokoh penting yang tercatat sebagai tokoh agama di Barus memiliki bentuk nisan tiang tegak berdiri berbentuk Mihrab dan yang paling mencolok dari bentuk nisan tersebut adalah makam milik Syekh Mahmud di Papan Tinggi yang menurut Dada Meuraxa (1963) berangka tahun 44 H.


Tim peneliti menduga makam tersebut merupakan makam tertua di Barus yang dapat diidentifikasi dengan jelas per tanggalannya melalui inskripsi yang tertulis pada nisan. Setalah dilakukan identifikasi, inskripsi tersebut bertuliskan puisi klasik berbahasa Persia dari Abad ke-11 milik penyair Firdawsi. Puisi tersebut terdapat dalam bukunya Shahnameh atau “Risalah Para Raja”, karya Firdawsi (940-1020) yang terdapat pada bab ‘pertempuran antara Rostam dan Esfandiyar’ yang berbunyi (Zulyeno & Assilmi, 2018: 270-271):


Jahan yadgar ast va ma raftani (Dunia adalah kenangan dan kita akan berlalu)//Be geiti namanad be juze mardumi (Tak tersisa pada dunia ini kecuali kemanusiaan)/


Firdawsi yang memiliki nama lengkap Hakim Abu al Qasim Firdawsi di dalam literatur Sastra Persia dijuluki sebagai bapak Bahasa Persia, gelar tersebut disematkan kepadanya karena karya agungnya, Shahnameh yang merupakan tonggak kebangkitan Bahasa Persia setelah kurang lebih selama tiga abad karya-karya berbahasa Persia di bawah bayang-bayang karya-karya Bahasa Arab.


Firdawsi penyair dan penulis epik besar yang pernah dimiliki bangsa Iran, lahir di Thoos, Khurasan, Iran tepatnya di Desa Baj, antara tahun 329-330 H atau sekitar 940 M. Firdawsi merupakan seorang anak dari pedesaan yang sangat menjaga adat dan budaya nenek moyang yang menghabiskan seluruh umurnya di Thoos.


Ia hanya melakukan perjalanan sekali ke Ghazni menghadap Sultan Mahmud Ghaznavi, setelah menyelesaikan mahakaryanya Shahnameh untuk dipersembahkan kepada Sultan. Jejak rekam tentang pendidikan Firdawsi tidak diketahui, namun dari karyanya yang agung ini terbukti ia merupakan seorang jenius yang menguasai berbagai bidang ilmu seperti filsafat, teologi dan Sastra Arab. Selain kekuatan imajinasi, kemahirannya dalam memilih dan menyusun kata tampak jelas di setiap karya yang dihasilkannya (Zulyeno & Assilmi, 2018: 271).


Hasil dari temuan riset ini dapat membuktikan, pendapat Dada Meuraxa (1963) mengenai angka tahun dari kompleks makam di Papan Tinggi berasal dari Tahun 44 H / Abad ke-7 Masehi, agaknya perlu diperbaiki mengingat hasil penelusuran inskripsi berupa puisi Bahasa Persia yang terdapat pada salah satu nisan menunjukkan berasal dari awal Abad ke-11 Masehi.


Sehingga, dapat diduga bahwa angka tahun nisan pada kompleks makam Papan Tinggi, Barus memiliki Tarikh sekurang-kurangnya dari Abad ke-11 Masehi. Temuan lain dari hasil riset tersebut juga menunjukkan, berdasarkan adanya pola bentuk nisan-nisan yang ada, serta ornamen-ornamen yang melekat pada nisan yang banyak ditemukan ornamen berupa lentera dipastikan identitas nisan tersebut biasanya dimiliki oleh kaum sufi atau guru dari para sufi.


Puisi dari penyair klasik Persia bernama Firdausi yang tertulis dalam nisan Syeikh Mahmud di makam Papan Tinggi tersebut, menunjukkan bagaimana puisi memiliki peran penting sehingga mendapat tempat di sisi batu nisan seorang tokoh intelektual muslim.


Nisan-nisan yang terdapat di Barus khususnya yang berbentuk mihrab dapat ditemukan juga di Uzbekistan, Azarbeijan, dan Iran dengan bentuk dan ornamen yang sama. Identitas dari budaya Islam Persia yang terdapat pada sebagian nisan-nisan kuno di Nusantara menegaskan kembali teori tentang masuknya Islam oleh para sufi atau kaum intelektual dari wilayah Asia Tengah ke Nusantara.(ceritarempahbarus/org)


*Catatan: Tulisan ini disunting seperlunya dan merupakan salah satu hasil dari luaran Riset Kluster yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Tahun 2018 dengan judul riset “Representasi dan Identitas Budaya Islam Persia di Komplek Makam-makam Kuno Barus, Sumatera Utara” yang telah diterbitkan ke dalam artikel ilmiah berjudul “Representation and Identity of Persian Islamic Culture in Ancient Graves of Barus, North Sumatera.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad