Kasus Pornografi Anak Semakin Mengkhawatirkan - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

14 Juni 2022

Kasus Pornografi Anak Semakin Mengkhawatirkan

PADANG, POTRETKITA.net - Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta banyaknya Anak yang Menjadi Korban Pornografi (AMKP), menuntut semua pihak agar meningkatkan kepedulian. Membuat tugu antikekerasan terhadap anak dan perempuan di tapal batas daerah, diharap dapat menjadi salah satu solusi.

ilustrasi dari kejogja.com

"Sudah seharusnya informasi perlindungan anak dan perempuan semakin dekat, maka sudah saatnya tapal-tapal batas desa, kota atau setiap kampung memiliki tugu antikekerasan perempuan dan anak, yang berisi mekanisme referal dan ajakan melapor dan pelopor, karena tanpa itu kita akan sulit mencegah sejak awal,” ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr. Jasra Putra, M.Pd.


Jasra yang dihubungi melalui perangkat virtual itu menyebut, pemerintah sebenarnya telah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021, tentang Perlindungan Khusus Anak (PKA) dengan menyebutnya Anak yang Menjadi Korban Pornografi (AMKP).


Dalam pasal 28 menyatakan, imbuhnya, tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan koordinasi pencegahan dan penanganan pornografi anak, melakukan sosialisasi dan mengadakan pendidikan dan pelatihan.


Sedangkan upaya untuk AMKP menurut kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi (wasmonev) KPAI itu, adalah dengan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, pemulihan kesehatan fisik dan pemulihan mental. Dalam PP tersebut juga, tegasnya, menyampaikan adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, hanya seefektif apa, tentu kita perlu tanya kepada pemerintah.


Jasra menyebut, karena tugas ini dibagi ke beberapa kementerian seperti dalam PP tugas tersebut diserahkan ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama, tentu saja perlu aturan pelaksanaanya.


“Dalam hal pelaku anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 37 menyampaikan tentang restitusi bila ada penuntutan, akan  disampaikan orang tua atau wali dari anak pelaku. Yang ketentuan pemberian restitusi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” jelasnya.


Tentu saja, tambah tokoh nasional asal Pasaman Barat tersebut, upaya penuntutan ini, juga harus memperhatikan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menekankan diversi dan restorative justice.


Jasra mengakui, kasus-kasus pornografi yang melibatkan anak-anak akhir-akhir ini mulai mengkhawatirkan. Seringkali peristiwa anak terpapar pornografi tidak disikapi serius, padahal menurut beberapa ahli kejiwaan, anak-anak dalam gangguan perilaku yang membutuhkan treatment khusus terutama medis.


Gangguan perilaku ini, imbuhnya, dapat menghambat pertumbuhan sewajarnya, sampai mengalami gangguan perilaku berat, yang menyebabkan anak anak dijauhi lingkungan sosialnya.


“KPAI pernah mendapatkan pengaduan yang sangat berat pada gangguan perilaku anak, yang menyerupai orang dewasa dalam aksi pornografi. Tentu di tahap ini tidak bisa lagi di-treatment biasa. Karena sudah harus medis yang turun tangan, perlu keterlibatan konselor, psikolog, psikiater, ahli agama, dan obat. Agar benar benar berhasil dan mengubah perilaku,” tegasnya.


Anak-anak dalam situasi ini, tegas dia, sebenarnya tidak mudah menjalani sekolah, karena tuntutan jiwanya sudah berubah. Sehingga seringkali ada yang tidak nyambung antara tuntutan sekolah, yang berakibat mengundang KDRT, dan aksi penyimpangan atau kekerasan lainnya, karena anak lari dari lingkungan pendidikannya.


Dari laporan yang ada, menurut Jasra, orangtua menyesal anak-anaknya terpapar pornografi, karena merasa selama ini menjauhkan dan aman dari jangkauan anak. Tapi kenyataannya tidak demikian.

Banyak peristiwa, tambahnya, orang tua yang terkaget anaknya mengalami gangguan jiwa karena soal eksistensi. Ketika mereka tidak mendapatkan pengakuan di keluarga, sekolah, maka mereka akan lari ke sosial media dan lingkungan. (mus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad