Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
(Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
Pertama
Anak laki laki sepuluh tahun di Jawa Barat, yang selalu merebut HP orang di jalanan, yang ternyata digunakan untuk penyaluran aksi pornografi, bila tidak dituruti akan berperilaku merusak. Untuk menyelamatkan anak, kemudian diamankan di RSJ.
Anak ini berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan, akibat perbuatannya, entah mengapa anak ditolak kembali ke rumah. Akhirnya ia membahayakan dirinya dan orang dijalan. Saat dihubungi relawan, orang tua bilangnya menyerah urus anak
Kedua
Anak perempuan 12 tahun, pasca KDRT berkepanjangan, ia intens menghibur diri di aplikasi chat, dan menemukan komunitas. Sayangnya itu komunitas prostitusi, dan menjadi pelarian anak dari KDRT. Ia tinggal di apartemen dekat kuburan.
Orang tuanya sadar anaknya tidak pulang, dan menyesali sikap selama ini. Berbekal info temannya yang minta dirahasiakan, pernah menggunakan aplikasi itu. Orang tua mengamati dari jauh lobby apartemen dan mendapatkan anaknya kembali. Ketika ditanya kenapa tidak menuntut, jawabannya yang penting anak kami kembali.
Ketiga
Anak perempuan 10 tahun, hidup di asrama buruh dan sering ditinggalkan begitu saja, karena ortunya bekerja, karena menganggap di asrama banyak orang. Sayangnya anak mengalami gangguan perilaku, selalu bergesture dewasa pada laki-laki. Yang menyebabkan mengalami kekerasan seksual berulang kali. Namun anak itu tidak menganggap itu kekerasan seksual, yang kemudian ditangani RS.
Membaca tiga kisah ini, tentu mengundang beragam pendapat. Tapi yang paling memprihatinkan, anak-anak yang awalnya trauma luar biasa, namun berakhir menjadi budaya kekerasan yang dianggap biasa. Kemudian energi besar anak menirunya, mengalahkan resiko dan ancaman yang akan melibasnya sewaktu-waktu.
Berada dalam perilaku mengancam jiwa, tidak mengetahui resiko perbuatannya. Namun ketika di asessment mendalam, ada luka batin, trauma, ancaman psikologis yang berpotensi mengarah ke dirinya sendiri, yang mengangga dan mengancam anak bereaksi tidak stabil, penuh emosi, yang membawanya menjadi pelaku kekerasan, bahkan memilih bunuh diri.
Sebelumnya KPAI mengapresiasi pengguna Twitter dengan nama akun ughawesome1, atas inisiatif membuat video, mengupload di medsos, dan netizen masyarakat ramai-ramai mendorong prosesnya.
Saya kira ini yang paling penting untuk masyarakat, yaitu budaya menjadi pelopor dan pelapor, karena tanpa itu, kita tidak bisa sejak dini menyelamatkan penerus bangsa kita. Demi perbaikannya kualitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia.
Namun yang perlu masyarakat ketahui, ketika menyebarkan video pelaku anak, penting melakukan blur atau menempel dengan ikon atau stiker ketika rekaman mengarah ke wajah anak. Tentu saja ini merepotkan, tapi sebenarnya banyak aplikasi yang sudah memberi kemudahan. Namun terkait untuk bukti hotline kepolisian atau aparat hukum, tentu saja perlu rekaman yang jelas.
Saya kira ini yang dikhawatirkan sejak awal KPAI, dengan berbagai survey dan pengawasan kami, dimana yang hasilnya begitu mudah konten konten orang dewasa mengundang anak anak pada dunia gadgetnya.
Hal ini karena pengawasan yang sangat kurang, gap cara interaksi gadget yang menjauhkan orang tua dan anak, di tambah semua aktifitas anak anak berpindah menggunakan gadget atau hpnya selama pandemi. Yang menuntut orang tua melakukan edukasi seks dan mengenal organ reproduksi.
Sebenarnya, negara terus menerus mengembangkan teknologi digital yang dapat melindungi anak anak ketika main internet dari paparan pornografi, namun memang tidak mudah menghadapi Industri pornografi didunia maya, yang selalu berkembang cara mendekati anak anak. Bahkan dari apa yang disukai anak anak itulah industri pornografi berkembang.
Tentu yang paling ideal dalam mencari penyebabnya, kita harus mewawancara anak, orang tua dan lingkungannya. Agar dapat mengetahui akar penyebab gangguan perilaku tidak sewajarnya itu. Namun rata-rata orang tua memang tidak mudah menjelaskan situasinya.
Seringkali peristiwa anak melakukan aksi-aksi orang dewasa, karena paparan terus menerus dan dalam waktu yang sangat panjang. Tentu tidak bisa disamakan dengan motivasi orang dewasa melakukan aksi itu. Karena anak adalah generasi peniru. Sehingga apa yang dibayangkan anak belum tentu sama seperti orang dewasa.
Kalau kita bertanya, bagaimana mereka terpapar dan melakukan itu, tentu akan banyak sekali faktor penyebab yang bisa diasumsikan dari video itu.
Pertama, video itu memperlihatkan kehidupan miskin kota, tinggal hanya ruang sepetak, menyebabkan aktifitas, istirahat atau tidur harus berbagi, yang berakibat anak seringkali diajak di jalanan.
Berada dalam slum area memaksa anak anak melihat hal hal yang belum sepantasnya ia dengar, ia lihat, ia katakan. Situasi ini menyebabkan anak mudah terpapar aksi pornografi. Karena energi besar anak anak dan dalam penyalurannya sering tidak memikirkan resiko,
Seringkali peristiwa anak terpapar pornografi tidak disikapi serius, padahal menurut beberapa ahli kejiwaan, anak anak dalam gangguan perilaku yang membutuhkan treatment khusus terutama medis. Karena gangguan perilaku ini dapat menghambat pertumbuhan sewajarnya, sampai mengalami gangguan perilaku berat, yang menyebabkan anak anak dijauhi lingkungan sosialnya.(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar