Memilih Pimpinan Muhammadiyah Lebih dari Sekadar Persentase - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

06 Agustus 2022

Memilih Pimpinan Muhammadiyah Lebih dari Sekadar Persentase

NARASUMBER

Syafril Alwis, S.Ag. (Padang Panjang)

Mukhzendra Yusuf, S.Pd. (Agam)

Dr. Novi Budiman, M.Si (Batusangkar)

Dr. Desi Asmaret, M.Ag (Padang)

Kasman Katik Sulaiman, S.Ag (Sungai Penuh)

M. Edrison Kamil (Jakarta)

Jufrizal (Bandung)

Jufri, S.Kom, M.I.Kom (Tebing Tinggi, Sumut)


PADANG, POTRETKITA.net – Memilih pimpinan Muhammadiyah itu lebih dari sekadar persentase. Ada banyak hal yang mesti jadi pertimbangan. Tapi, masalah ekonomi memang butuh prioritas.

Syafril Alwis

Tokoh Muhammadiyah dari Daerah Padang Panjang & Batipuh X Koto Syafril Alwis berpendapat, pada dasarnya susunan ideal Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), dan bahkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memang terdiri dari 70 persen ekonom, pengusaha, dan pakar, serta 30 persen dari kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dari berbagai disiplin ilmu dan profesi.


Ini memang agak berbeda dari wacana yang dikembangkan Sekretaris PDM Agam Mukhzendra Yusuf yang 60 persen ekonom, sisanya yang 40 persen lagi baru berasal dari kalangan ulama, akademisi, profesional, dan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), masing-masingnya sepuluh persen.


“Sedikit sekali alokasi untuk AMM, sementara porsi pengusaha dan ekonom terlalu tinggi. Ini bisa berefek kurang baik juga ke depannya. Posisi tawar Muhammadiyah bisa turun,” sela Kasman Katik Sulaiman dari Kota Sungaipenuh.


Sedangkan Syafril yang pernah menjabat wakil ketua PDM Pabasko itu menyebut, kelahiran Muhammadiyah tidak bisa lepas dari usaha besar agar umat menjalankan Alquran dan Sunnah yang shahih. Itu artinya, kata dia, Muhammadiyah sejatinya dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan dan pemahaman keagamaan yang baik.


Kendatipun demikian, Syafril tak menampik, masalah ekonomi juga mesti dapat prioritas utama, karena Muhammadiyah memiliki nilai aset yang besar dan amal usaha yang tidak sedikit, sementara anggotanya juga butuh manajemen ekonomi yang bagus, dalam usaha meningkatkan kesejahteraan. “Pimpinan Muhammadiyah yang harusnya mencetak banyak ekonom,” ujarnya.


Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. Mahmud Yunus Batusangkar Novi Budiman berpendapat, soal persentase dalam postur kepemimpinan di Muhammadiyah sesungguhnya tidak memberi jaminan, khususnya dalam hal mengelola aset-aset persyarikatan.

Desi Asmaret

Direktur Politeknik Aisyiyah (Polita) Sumbar Desi Asmaret sependapat dengan Novi Budiman. Sebenarnya, kata tokoh Aisyiyah itu, bukan masalah persentase, tapi bagaimana pakar, praktisi ekonomi, dan pengusaha berkumpul memikirkan Muhammadiyah dari segi ekonomi.


“Wadahnya sudah jelas. Ada Majelis Ekonomi dan saudagar Muhammadiyah. Ada juga Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Kalau diukur persentase, tapi pada akhirnya mereka tidak memikirkan, bagaimana ekonomi persyarikatan dan umat bisa berkembang, percuma saja. Nah, ekonomi tentu dijadikan oleh pimpinan yang akan datang sebagai program prioritas,” jelasnya.

M. Edrison Kamil, warga Muhammadiyah di Jakarta yang berlatar belakang saudagar menegaskan, Islam itu agama yang kaffah rahmatallil alaamiin. “Ambo raso dak usah didikotomikan (saya rasa tak usah didikotomikan), karena semua sudah terstruktur lengkap dalam majlis dan lembaga,” ujarnya.


Tidak ada majlis dan lembaga di Muhammadiyah yang bertentangan dengan Islam. Jadi porsinya, kata mantan ketua umum PC IPM Kauman Padang Panjang itu, sesuaikan saja dengan kebutuhan Persyarikatan Muhammadiyah. Hanya saja sekarang, imbuhnya, bagaimana sistem yang ada di Muhammadiyah berjalan sesuai ketentuan yang dibuat Muhammadiyah.


Menurutnya, yang terpenting lagi adalah nawaitu (niat), untuk apa berada di Muhammadiyah? Jawabannya, demi tegaknya nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat. Di Muhammadiyah, tegasnya, yang belum ada itu mungkin Majlis Politik.


“Kita kembalikan saja pada syarat-syarat menjadi pimpinan di Muhammadiyah, sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), dan aturan yang berlaku lainnya,” sebut Edrison.

Jufrizal

Sementara itu, Jufrizal, seorang kader Muhammadiyah di Jawa Barat yang juga berlatar belakang saudagar menyebut, ide untuk menjadi pimpinan Muhammadiyah dari kalangan ekonom sangat bagus, karena persoalan yang selalu muncul dalam setiap kegiatan akan berkaitan dengan keuangan.


“Ide ini layak kita mulai dari PWM Sumbar yang notabene adalah negerinya para pedagang dan pengusaha. Kalau pun belum ditemukan figur yang pas untuk posisi itu, setidaknya Majelis Ekonomi di Muhammadiyah dapat diberdayakan lebih maksimal. Tugas terberat itu adalah memberdayakan majelis itu. Sehingga dapat membuat terobosan-terobosan yang penting  untuk memajukan organisasi,” sebut Jufrizal.


Kalau saja hal di atas dapat terwujud, dia optimis, ke depannya kita akan lihat pertumbuhan Muhammadiyah berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi warganya. Sudah waktunya, kata Jufrizal, Muhammadiyah punya amal usaha di bidang ekonomi, seperti perbankan, perusahaan, industri, dan lain-lain.


BACA PULAKini Giliran Ekonom yang Pantas Memimpin Muhammadiyah


“Bagi saya, apa yang terjadi di Muhammadiyah adalah hal wajar, sedangkan pemerintah dengan segala potensinya saja belum mampu atau tak mampu membangkitkan ekonomi umat atau rakyat secara baik,” sebut Ketua PDM Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Jufri, M.I.Kom.


Muhammadiyah dengan  sumber daya dan sumber dananya terbatas, tuturnya, sudah mampu membangun amal usaha, walaupun belakangan Muhammadiyah sering disebut Ormas Amal usaha.


Saat ini yang harus dipikirkan, timpal Novi Budiman, bagaimana menjadikan amal usaha Muhammadiyah, mulai di tingkat ranting sampai daerah sebagai halaman depan bagi pengembangan Muhammadiyah. “Tugas kita di setiap daerah melakukan mapping (pemetaan) terhadap kondisi  AUM. Sekarang kita punya data nggak terkait kondisi amal usaha,” katanya.***

MUSRIADI MUSANIF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad