MEDAN, potretkita.net - Seseorang yang disebut sebagai pakar astronomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, metode hisab awal bulan yang digunakan Muhammadiyah sudah usang. Padahal, alasan penggunaan metode itu sejauh ini dinilai sangat akurat.
MUHAMMADIYAH.OR.ID |
Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ruslan Fariadi menjelaskan, penggunaan Wujudul Hilal dalam menentukan awal bulan, bukan berdasarkan ego tetapi berdasarkan dalil agama, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah, ujarnya, ada tujuh alasan mengapa Muhammadiyah istiqamah menggunakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal.
PERTAMA
Karena semangat Al-Quran adalah menggunakan hisab, sebagaimana tersirat dalam Al-Quran; “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman [55]:5). Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar secara pasti (eksak), tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena memilik manfaat yang sangat banyak, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (QS. Yunus [10] ayat: 5).
KEDUA
Rasulullah SAW menggunakan rukyat, karena itulah cara yang memungkinkan untuk digunakan saat itu, yang oleh Rasyid Ridha dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan, perintah melakukan rukyat adalah amrun ma’lulah (perintah yang memiliki ilat atau causa hukum), sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw; “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa (tidak terbiasa) menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
KETIGA
Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender, apalagi Kalender Global hingga sekian puluh atau seratus tahun yang akan datang. Rukyat tidak dapat dijadikan sarana untuk menentukan penanggalan jauh ke depan, sebab tanggal baru bisa diketahui pada H-1, yang dalam konteks Indonesia menyebabkan masyarakat di daerah Timur bingung untuk mengakhiri rangkaian ibadah Ramadhannya, termasuk Shalat Tarawih, karena di daerahnya telah masuk waktu isya’ sementara di Jakarta masih sore, dan menunggu sidang itsbat yang sejatinya tidak diperlukan.
KEEMPAT
Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global (Kalender Islam Internasional). Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
KELIMA
Jangkauan rukyat terbatas, akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qomariah di seluruh dunia. Pada sisi lain ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat dan dapat menjadi solusi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara agama maupun saintifik.
KEENAM
Pada masa Nabi rukyat tidak problematik, karena terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi SAW, tidak seperti saat ini yang telah mendunia.
KETUJUH
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah, karena di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah Barat sudah terukyat, demikian pula sebaliknya. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qomariah. Akibatnya kawasan ujung Barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha.
DINAMIS DAN DIALEKTIS
Sementara itu dari Medan, laman resmi muhammadiyah.or.id milik PP Muhammadiyah mengabarkan, penentuan awal bulan hijriah di Indonesia sangat dinamis dan dialektis, terutama menjelang Ramadan dan Syawal. Muhammadiyah kerap disorot, bahkan tak jarang mendapat stigma negatif, karena berbeda dengan pemerintah dan ormas Islam yang lain.
Pakar Falak Muhammadiyah Arwin Julo Rakhmadi Butar-butar menegaskan, segenap kritik ilmiah yang ditujukan kepada metode Wujudul Hilal maupun secara langsung ditujukan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi merupakan hal alamiah.
“Sesuai tabiatnya, Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan, yang dalam konteks penentuan awal bulan Muhammadiyah memiliki analisis historis mendalam dan pada saat yang sama memiliki sorotan maslahat jauh kedepan yang ditunjukkan dengan gagasannya tentang Kalender Islam Global,” terang Arwin dalam sebuah tulisan di web OIF Universitas Muhammadiyah Summatera Utara.
Menurutnya, Metode hisab hakiki wujudul hilal merupakan hasil ijtihad dengan intensitas kajian yang sama sekali tidak dangkal. Bagaimanapun sebuah ijtihad dalam fikih Islam, tegasnya, terlepas dari keunggulan dan kekurangannya tentu harus dihormati.
Manakala tidak sesuai atau tidak memenuhi keinginan suatu pihak, ujarnya, tentu tidak boleh dinilai secara tendensius, apa lagi distigma negatif. Di sini tampak perlunya pemahaman rasional-irfani, bukan semata pemahaman rasional-epistemologi.
“Andai sentuhan dan pemahaman rasional-irfani ini dipahami secara baik, niscaya tidak akan muncul diksi dan narasi sinis-provokatif, sebab dalam syariat cara menempati arti penting, bahkan sebuah adagium menyatakan ‘al-adab fauqa al-‘ilm’ (adab itu di atas ilmu), artinya secanggih apapun ilmu (epistemologi) tidak boleh mengabaikan aspek nilai (irfani),” kata Arwin.(*/mus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar