Sendirian Berteriak Minta Tolong di Kandang Harimau - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

09 Juli 2022

Sendirian Berteriak Minta Tolong di Kandang Harimau

JAKARTA, POTRETKITA.net - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra mengungkapkan, peristiwa memiriskan terus melanda anak, terutama dalam bentuk kejahatan seksual. 



"Kita miris dengan kesaksian korban kejahatan seksual pada anak di sekolah berasrama. Mereka harus menahan diri dan menunggu menjadi alumni, baru bisa mengungkap kasus trauma berat dari kisah kelam yang dialaminya. Bayangkan hidup menjadi korban, menjadi pesakitan dan bayang-bayang takut tidak lulus," katanya.


Jasra menyebut, mereka ibaratnya orang yang sendirian berteriak minta tolong di kandang harimau. Membayangkan situasi korban kekerasan, kejahatan seksual dan pencabulan, baik predator maupun fedofilia, belakangan yang berada di bawah penguasaan pemiliknya. Dari sekolah-sekolah berasrama, seperti SPI dan beberapa pesantren.


Saat ini, ujarnya, kita dipertontonkan pesakitan dari para korban kekerasan, kejahatan, pencabulan seksual, karena sulitnya mengungkap kejahatan yang dilakukan tangan-tangan besi dengan penguasaan penuh atas korban.


"Bayangkan sejak mereka menolak perlakuan, percaya tidak percaya, mereka harus berani melawan, ketakutan, ancaman, dan trauma yang harus dialaminya sekian lama. Kemudian bersaksi berulang-ulang hanya untuk mendapatkan pengakuan, sampai mengorbankan dirinya speak up ke publik," sebut Jasra yang juga merupakan kepala Divis Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi (Wasmonev) KPAI.


Perjuangan yang sangat panjang, menurut Jasra, menguras energi dan batin. Mereka berasal dari anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, akibat latar belakang terlepas dari orang tua. Dan harus percaya dengan figur barunya, dan bertahan untuk masa depan di dalam sebuah lembaga.


Menurutnya, pelakunya baru tertangkap, mungkin luka sayatan perih batin itu sedikit terobati, mereka masih mencari keadilan atas pesakitan yang mereka alami saat ini, yang bisa tiba-tiba menggelayut menghampiri lagi. Mampukah rasa keadilan dihadirkan untuk pada korban ini? Bukankah perasaan selama ini, harus terwakili dengan hukuman yang akan dijatuhkan para hakim, dengan pembunuhan karakter bertahun-tahun pada korbannya.


"Mudah-mudahan proses panjang ini, menyebabkan para pelakunya diberi hukuman berlapis dan pemberatan dengan siksaan batin yang selama ini mereka jalani. Semoga putusan hakim nanti dapat mengganti masa kelam bertahun-tahun itu, yang berganti menjadi penuh harapan dan masa depan," katanya. 


Jasra menyebut, pelaku pencabulan anak itu ada yang memiliki relasi kuasa yang luar biasa, mereka adalah pimpinan, ada pimpinan legislatif, tokoh publik, pimpinan lembaga pendidikan, orang yang sangat berpengaruh, di mana segala akses bisa ditembus untuk menutupi kejahatannya, dan menempatkan korban menjadi pesakitan di mata publik. Perlu upaya luar biasa untuk menyentuh para pelaku. Dan, korban yang harus bersaksi berulang-ulang, bahkan bertahun-tahun. Padahal mengungkap itu membawa trauma dan dapat mengancam. 


Sebenarnya fenomena kekerasan seksual ini, kata dia, merupakan fenomena data yang masuk ke KPAI, dimana kekerasan di dalam keluarga dan pengasuhan alternatif menjadi angka tertinggi,  dengan angka 2.281. Angka kejahatan seksual 859 kasus yang teradukan. Di Jawa Timur saja, Januari sampai Mei ada kekerasan terhadap anak 319 kasus. 


"Kita sering lupa, pendidikan berbasis asrama seperti pesantren dan lain yang serupa, sebenarnya menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Makanya di Konvensi Hak Anak kluster IV kita bicara secara bersamaan antara pendidikan, waktu luang dan budaya. Memang ada problem besar, ketika anak lepas dari pengawasan orang terdekatnya. Seperti masalah waktu luang di pesantren setelah melalui pendidikan formal, yang dimanfaatkan oknum seperti predator seksual," terangnya.


Menurut Jasra, data kekerasan seksual selalu saja dilakukan orang terdekat, begitu juga yang terjadi di Pesantren. Yang  juga seringkali rasio pengasuh dan peserta didik tidak sebanding. Anak anak yang jauh dari pengawasan orang tua ini, ketika berada di tangan yang salah dan percaya begitu saja, sering mendapat perlakukan salah, sampai akhirnya menjadi korban kejahatan seksual.(mus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad