NARASUMBER TOPIK INI
Mizlan (Pasaman Barat), Kasman Katik Sulaiman (Sungaipenuh), Boiziardi (Padang), Rahmat Hidayatullah Lubis (Pasaman Barat), Novi Budiman (Batusangkar), Nurul Ihsan (Bengkulu Selatan), Jufrizal (Bandung), Desi Asmaret (Padang), Portito (Padang)
PADANG, POTRETKITA.net - Semua pihak harus menyadari, baik dia itu pimpinan, anggota, dan simpatisan maupun pemerhati, bahwa sejak awal Muhammadiyah itu bukan wadah politik.
Mizlan |
Dengan berada pada posisi itu pulalah, pesyarikatan ini bisa bertahan dan tangguh, hingga mencapai usia lebih dari satu abad.
Kalaupun saat ini, Muhammadiyah berada dalam keadaan darurat politik, sebagaimana diungkapkan Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Pasaman Barat Mizlan, lalu kemudian muncul berbagai masalah dalam kaitannya dengan dukung-mendukung kader dan bukan kader, namun kesalahan sepenuhnya tidak bisa ditimpakan kepada Muhammadiyah secara struktural organisatoris.
“Pertanyaan saya, benarkah semua itu bisa kita salahkan pada Muhammadiyah secara struktural kelembagaan. Sesungguhnya, sejak awal Muhammadiyah itu bukan wadah politik. Itulah yang membuatnya bertahan hingga kini, melewati perjalanan waktu lebih dari satu abad,” sebut Kasman Katik Sulaiman, anggota pimpinan Muhammadiyah dari Kota Sungaipenuh.
Ketua Majlis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat Boiziardi menegaskan, secara kelembagaan, Muhammadiyah itu tidak pernah salah. Yang salah itu, ujarnya, adalah oknum-oknum pengurusnya.
Pendapat itu pun diamini kader Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dari Pasaman Barat; Rahmat Hidayatullah Lubis. “Yang salah itu bukan lembaganya, buya, tapi oknum-oknum pimpinan yang malu-malu kucing,” ujarnya.
Adalah benar, Muhammadiyah itu tidak salah. Tapi dalam perjalanannya kemudian, menurut Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Mahmud Yunus Batusangkar Novi Budiman, dalam konteks percaturan perpolitikan itu, Muhammadiyah pernah berada pada posisi memainkan high poitics dan tidak di sisi politik praktis.
Sayangnya, kondisi di lapangan dan pola hidup berpolitik di negeri kerap mengalami situasi yang tidak stabil. Perubahan-perubahan tak terduga sering terjadi, hingga akhirnya, menurut Novi, Muhammadiyah gagal menerapkan high politic itu yang bermuara pada banyak pemasalahan yang harus diselesaikan tuntas dengan cara-cara bijaksana.
Nurul Ihsan |
Nurul Ihsan, aktivis dan pimpinan Muhammadiyah di Bengkulu Selatan juga sepakat, tidak tepat bila menyalahkan Muhammadiyah. “Menurut pendapat saya Muhammadiyah tidak salah, tetapi mungkin kita perlu membangun wadah komunikasi antar kader, misalnya dengan membentuk jaringan kader Muhammadiyah lintas profesi di wilayah masing-masing,” ujarnya.
Dengan jaringan ini, sebutnya, diharapkan adanya sumbang saran antar profesi, sharing ide dan aktivitas, sehingga terbangun kekuatan di lintas kader.
“Wadahnya sudah ada, tinggal mengoptimalkan Majelis Kader saja. Konsolidasi organisasi harus dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai ranting, dan optimalisasi komunikasi kader,” timpal Boiziardi, aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di Padang yang juga berprofesi sebagai advokat dan akademisi. Tapi, sebut Novi Budiman menambahkan, perlu juga dilakukan konsolidasi antar kader AMM.
Bagi Rahmat, dengan mencemati situasi yang dihadapi selama ini dalam skala Pasaman Barat, upaya-upaya yang dilakukan terlihat belum maksimal dan masih serba tanggung.
“Muhammadiyah itu bergerak, tapi serba sedikit. Sosialnya bergerak, tapi sedikit. Dakwahnya bergerak, tapi sedikit. Politikusnya bergerak, tapi sedikit. Kadernya juga bergerak, tapi sedikit. Kadernya juga didukung jadi caleg ada, tapi sedikit. Yaaa.. semuanya ada, tapi serba sedikit. Apa salahnya pimpinan tegas dan gigih. Kita fokus satu-satu, tapi sampai ke tujuan. Jangan semua diborong, tapi gagal,” ujar mantan ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Pasaman Barat itu.
BACA PULA : Muhammadiyah tak Perlu Basa-basi Lagi
Semoga Muhammadiyah tak Jadi Korban Lagi pada 2024
Jufrizal, kader Muhammadiyah dari Jawa Barat menyatakan, kita sudah berulangkali mencoba untuk membangun jembatan dalam dunia perpolitikan, sejak reformasi bergulir 1998. Namun entah apa sebab dan alasannya, selalu saja jembatan itu lapuk. Mungkin akibat kurangnya muatan dan anggota yang mempergunakannya.
“Sebut saja jembatan yang dibangun di atas aspirasi warga Muhammadiyah, bukan 0rganisasi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Matahari Bangsa (PMB), sekarang ada pula Partai Ummat , dan lain sebagainya,” ujar Jufrizal.
Nurul Ihsan melihat persoalan tidak dalam konstelasi partai politik saja, tetapi juga institusi-istitusi kenegaraan yang berhubungan erat dengan politik praktis, msalnya perlu kesiapan dan keikutsertaan kader-kader Muhammadiyah dalam menghadapi agenda politik Pemilu 2024 dan perangkat pendukungnya.
Sebutlah misalnya posisi-posisi strategis di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Juga mempersiapkan kader yang akan maju di lembaga legislatif. “Mereka perlu dukungan data informasi kader,” ujarnya.
“Kegagalan kader Muhammadiyah masuk pansel di Bawaslu Sumbar tempo hari, bagi saya itu adalah pukulan telak,” sebut Novi. Tapi, ujar Desi Asmaret dari Aisyiyah, ada kok, kader Muhammadiyah Sumbar yang lolos ke Bawaslu. “Kita baru menyiapkan kader secara dadakan, tidak terprogram dan terbimbing secara khusus,” kata Desi yang juga merupakan direktur Politeknik Aisyiyah (Polita) Sumatera Barat.
Seorang AMM yang kini dipercaya menjadi sekretaris Muhammadiyah Disaster Management Center Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (MDMC-PWM) Sumbar Portito berpendapat, Muhammadiyah memang terpuruk dalam politik di negeri ini. Apalagi, jika politik didefinisikan secara definitif dengan kekuasaan.
Dalam definisi yang sempit ini, ujarnya, matahari terbit memang sedang tenggelam dalam jagat perpolitikan nasional mutakhir. Ini, tegas Portito, disebabkan sikap malu-malu tapi mau dari para oknumnya.
“Tak mengherankan, jika bukan hanya orang Muhammadiyah yang masygul menyaksikan fenomena tidak diakomodasinya Muhammadiyah dalam kabinet saat ini, justru sekarang kita banyak yang bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?” katanya bernada tanya.
Menurut Portito, Muhammadiyah adalah salah satu pilar dan jangkar NKRI. Akomodasi politik bagi kekuatan Islam modernis dan moderat ini, dianggap konvensi atau keniscayaan politik. Tetapi, alih-alih diakomodasi, Muhammadiyah malah dinafikan,
Ada realitas memiriskan di lingkungan Muhammadiyah, tambah Portito, kalau kader Muhammadiyah yang sudah sukses pada jabatan dan posisi yang mereka inginkan, maka kalau ada kader lain yang butuh bantuan, mereka langsung berbicara aturan dan regulasi, sehingga kader sendiri yang menghambat kader lainnya.***
MUSRIADI MUSANIF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar