Semoga Muhammadiyah tak Jadi Korban Lagi pada 2024 - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

02 Agustus 2022

Semoga Muhammadiyah tak Jadi Korban Lagi pada 2024

PESERTA DISKUSI AKTIF TOPIK INI:

Angkatan Muda Muhammadiyah Rahmat Hidayatullah Lubis (Pasaman Barat), warga Muhammadiyah M. Edrison Kamil (Jakarta), Jonito Vendri (Pasaman), Ketua PDM Tebingtinggi Jufri, Kasman Katik Sulaiman (Sungaipenuh),  Anggota PWM Sumbar Boiziardi (Padang), Direktur Polita Aisyiyah Sumbar Desi Asmaret (Padang)

 

PADANG, POTRETKITA.net - Setiap kali pesta demokrasi dihelat di negeri ini, ada orang yang menyebut, Muhammadiyah karena keambiguan sikapnya, kerap menjadi korban politik praktis.

Rahmat Hidayatullah Lubis

Kader-kadernya pun berguguran tak kebagian suara, di tengah ribuan warga persyarikatan dan simpatisan di suatu daerah. Ambillah contoh di Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, tanpa menafikan kasus serupa di daerah-daerah lain.

 

"Muhammadiyah Pasaman Barat sudah jadi korban akibat basa-basi dalam perpolitikan praktis itu. Kader-kaernya berguguran," terang Rahmat Hidayatullah Lubis, tokoh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di daerah tersebut, memberi pendapat pada diskusi virtual terbuka Muhammadiyah Potret Kita, menggunakan aplikasi WhatsApp Group.

 

Menurutnya, pada pemilihan umum legislatif lalu, ambisi besar membentuk "Fraksi Muhammadiyah" di DPRD Pasaman Barat itu gagal total. Semua ingin maju, ada dari daerah pemilihan yang berbeda, ada juga dari daerah pemilihan yang sama. Suara warga Muhammadiyah yang besar itu akhirnya hilang entah kemana.

 

Setelah hasil pemilihan umum dihitung dan anggota DPRD-nya dilantik, barulah ketahuan hilangnya suara warga Muhammadiyah itu. Parahnya lagi, lantaran mendapat dana pokok-pokok pikiran dari yang anggota dewan yang bukan kader Muhammadiyah, sang anggota dewan itu malah diberi kartu Tanda Anggota Muhammadiyah.

 

Rahmat sepakat dengan gagasan, warga dan pimpinan Muhammadiyah tak perlu ragu-ragu lagi memberi dukungan kepada kadernya yang maju di pemilihan umum, baik untuk memilih anggota legislatif maupun kepala daerah. Konkretnya, ujar dia, semoga pada 2024 nanti Muhammadiyah tak jadi korban lagi.

 

Ihwal masih derasnya terdengar suara-suara, agar Muhammadiyah tidak memberi dukungan nyata terhadap kadernya dalam kontestansi politik praktis, mendapat sorotan dari tokoh Muhammadiyah di Jakarta; M. Edrison Kamil.

 

"Kalau Muhammadiyah secara organisasi masih belum berpolitik praktis, ini gagasan yang perlu dipertimbangkan kembali. Harus dipikir dengan matang konsekuensinya," tegas Edrison yang pernah menjadi ketua umum Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kauman Padangpanjang.

 

Muhammadiyah, tegasnya, bisa menjadi lahan empuk perebutan suara, dan bisa pula menjadi korban konflik kepentingan. Namun harus diakui juga, sebutnya, walau secara legalitas Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, secara diam-diam tetap ada yang memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan politik praktis. Pertanyaannya, apakah sikap PWM Sumut, sebagai contoh, yang terang-terangan melakukan mobilisasi mendukung kader-kadernya itu melanggar aturan atau tidak.

 

"Saya setuju apa yang dilakukan oleh PWM Sumut, berani dan berjelas-jelas dalam bersikap, sehingga suara kita bisa menyatu diberikan kepada yang betul-betul kader Muhammadiyah, kader lahir batin, dan tidak dimanfaatkan oleh mereka yang bukan kader," timpal Jonito Vendri dari Pasaman.

 

Tapi timbul pertanyaan dari Edrison, sudah sesuaikah cara-cara itu dengan kebijakan organisasi Muhammadiyah. Jadi benar, tegasnya, sikap ambigu tak terbantahkan. "Usul saya, tentukan sikap  Muhammadiyah, berpolitik praktis atau tidak. Mungkin bisa dibawa ke sidang muktamar atau sidang-sidang tingkat pusat, yang dihadiri seluruh pimpinan Muhammadiyah, mulai pusat sampai ranting," sebutnya seraya menegaskan, cari jawaban yang pas pada musyawarah itu, apakah ingin menjadikan Muhammadiyah partai politik atau membuat partai baru. 

Jufri

Ada pula yang merisaukan, "Orang Muhammadiyah itu, kalau sudah jadi, main sendiri, karena sebelum jadi, juga dibiarkan sendiri. Plusnya, kalau jadi baru diakui sebagai kader dan mulailah berdatangan proposal kepadanya," timpal Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Tebingtinggi, Sumatera Utara, Jufri.

 

Kalau masalah politik, ujarnya, reformasi telah merugikan Muhammadiyah. Sebab jika pemilu tetap langsung one man one vote (satu orang satu suara), maka orang Muhammadiyah tak akan pernah jadi pemimpin dan menang, jika orang tahu dia orang Muhammadiyah.

 

Kasman Katik Sulaiman, pimpinan Muhammadiyah di Kota Sungaipenuh pun berkisah, dia teringat dengan ungkapan warga Muhammadiyah pada zaman Orde Baru dengan hanya tiga  partai politik. Di luar, silahkan berkompetisi dan bertengkar, kalau pulang ke rumah Muhammadiyah, kembalilah berdunsanak, walau kadang jadi musuh bebuyutan di partai politik," tuturnya.

 

Tapi itu di masa orde baru. “Sekarang sudah zaman milenial,” Ketua Majlis Hukum dan HAM PWM Sumbar Boiziardi memberi garis merah. “Siapa tahu, hal demikian bisa pula dilakukan pada zaman ini,” jawab Kasman lagi. “Tapi Muhammadiyah memang bukan gerakan politik,” tegas Jufri.

 

Saat ini, ada beberapa partai politik yang kader Muhammadiyah banyak bergabung di sana. Ada pula partai politik yang didirikan oleh mantan pimpinan-pimpinan Muhammadiyah dan para kader Angkatan Muda Muhammadiyah. Lalu, Kasman mempertanyakan, mau pilih yang mana?

 

“Semua masih partai kecil. Kalau bertarung dengan sistem politik elektoral president vote-nya, pasti kalah. Partai lain di luar partai-partai besar itu, tinggal remah-remahnya saja dalam sistem elektoral 20 persen ini,” kata Desi Asmaret, direktur Politeknik Aisyiyah Sumatera Barat, yang pernah berpengalaman di dunia politik praktis itu.***

(MUSRIADI MUSANIF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad