Teknologi Pestisida Nabati untuk Tanaman Pangan - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

26 November 2022

Teknologi Pestisida Nabati untuk Tanaman Pangan


JAKARTA, potretkita.net
- Sudah lama pertanian di Indonesia menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Kini mulai dikeluhkan, selain berbahaya bagi kesehatan, penggunaan produk kimia terbukti juga telah merusak tanah.


Untuk menghasilkan tanaman pangan yang lebih sehat, sekaligus mencegah kerusakan lingkungan, berbagai penelitian telah dilakukan, melibatkan para pakar dari berbagai bidang. Inovasi teknologi itu terus berjalan sesuai perkembangan zaman.


Setelah berbagai penelitian tentang pupuk organik berkembang, dan secara berangsur-angsur mulai diaplikasikan petani di lapangan, penelitian saat ini juga mengarah kepada pembuatan pestisida nabati yang diyakini lebih sehat dan framah lingkungan.


Informasi yang dihimpun dari laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada brin.go.id, menjelaskan, pestisida kimia memang terbukti ampuh membunuh hama pada tanaman. Namun, residunya lama-kelamaan berakumulasi merusak tanah. Polusi lingkungan dapat ditekan, salah satunya dengan penggunaan pestisida nabati.


Itu pulalah yang mendorong Kepala Pusat Riset Kimia BRIN Yenny Meliana melakukan penelitian di bawah tajuk Green Technology of Botanical Pesticide for Sustainable Food Production and Maintaining Ecosystem. Posternya telah terpampang pada WAITRO Summit 2022. Di situ dijelaskan, pestisida nabati yang dihasilkan dari teknologi nanoemulsi tersebut digunakan pada tanaman tomat, lada, dan sayuran. 


"Minyak nimpa, sereh, dan cengkeh, pestisida nabati ini dibuat menjadi emulsi dengan menggunakan teknologi nano. Risetnya telah diuji di Lembang dan Belitung. Ketahanan stabilitas emulsi telah terbukti. Dalam durasi 6-8 jam, minyak nabati yang telah dicampur dengan air tetap stabil, tidak terpisah," ungkapnya.


Teknologi nanoemulsi digunakan untuk membuat pestisida nabati lebih stabil. Dibutuhkan pestisida nabati dengan emulsi yang stabil, ketika proses penyemprotan dilakukan pada lahan kebun sayur yang luas dan membutuhkan waktu.


Menurutnya, melalui platform SAIRA, peneliti yang juga mendalami bidang kosmetik ini berhasil mendapatkan rekan kerja penelitian. Partnernya dari Kamerun meneliti hal yang mirip. Perbedaannya, pada bahan dasar emulsi, yaitu tanaman khas Kamerun. Penelitian mereka menitikberatkan pada biokimia, sedangkan penelitian ini fokus pada pemanfaatan nanoemulsi. 


Teknologi nanoemulsi dalam pestisida nabati ini sudah mendapatkan lisensi teknologi dari mitra dan memiliki ijin edar dari Kementerian Pertanian kurang lebih lima tahun lalu. Ia berharap, pengembangan selanjutnya adalah pada riset nanoemulsi ke arah herbisida. 


Yenny mengungkapkan, tidak mudah bermitra dengan peneliti yang berada di negara berbeda. Setidaknya ia menyebutkan ada tiga tantangan selama menjalin kolaborasi internasional.


Pertama, adalah pendanaan operasional. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan pertemuan diskusi online melalui zoom, sehingga kedua pihak tidak mutlak harus bertemu secara fisik. Tantangan berikutnya adalah adanya perbedaan waktu.


Hal ini, kata Yenny, terkadang membuat jadwal pertemuan online di larut malam, atau dini hari. "Di Indonesia sudah malam, di Kamerun masih siang," ujarnya saat didaulat memberikan testimoni success story dalam WAITRO Summit 2022 (15/11) kemarin di Lord Charles, Afrika Selatan.


Terakhir, ia menyebutkan bahwa merawat hubungan berkolaborasi juga bukan hal yang mudah baginya. "Toleransi dan komitmen para pihak harus erat dalam melakukan riset dan mencari peluang pendanaan riset," tutupnya.(BRIN.go.id; ed. mus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad