TANAH DATAR, POTRETKITA.net – Kayu bakar masih bersilang di dapur santri putri. Api pun menyala di tungku-tungku yang tertata rapi. Tak lama berselang, nasi yang ditanak di periuk besi pun siap untuk disantap.
Begitulah keseharian di dapur santri putri, Pondok Pesantren Darul Ulum Nagari Padang Magek, Kecamatan Rambatan. Mereka menanak nasi tidak dengan kompor minyak tanah ataupun kompor gas, tetapi menggunakan kayu bakar. Ada yang dibeli, ada pula pemberian masyarakat setempat.
Biasanya, pemberian masyarakat sekitar berupa dahan kayu dan pelepah kelapa. Santri menjemputnya ke parak ata/ladang warga. Kemudian memotongnya ukuran kecil, untuk masuk ke tungku.
Menurut Umi Ar, sang pengasuh santri putri, satu liter beras yang ditanak untuk makan lima orang santri. Satu periuk besi besar ukuran isi enam liter, bisa nasinya untuk tiga puluh orang santri.
Kini santri perempuan ada lebih kurang 70 orang. Mereka memasak dengan dua periuk besi besar saja. Nanti nasinya ditaruh di piring masing-masing oleh petugas piket, pada jam pembagian nasi.
Menanak nasi itu dua kali sehari, pagi dan sore. Mereka makan terserah saja jam makannya. Pokoknya, nasi masing-masing sudah ada. Beras makan ini, disetor santri empat liter seminggu.
Kalau untuk sambal lauk pauk dan sayurnya, santri berkelompok-kelompok membuatnya. Ada yang tiga orang, ada yang empat orang sekawan. Mereka beriuran rata-rata Rp. 25.000 seminggu.
Dapur santri ini terlihat bersih. Karena piket selalu membersihkan setiap hari. Piket santri dibagi tiga. Pertama piket asrama, kedua piket kamar mandi, ketiga piket dapur. Semua santri dapat giliran piket. Piket bekerja sampai benar benar bersih. Itulah yang membuat mereka disiplin. Hingga terbiasa mandiri nantinya, bila sudah dewasa.
Melihat jadwal yang begitu padat: belajar mengaji pagi hari, belajar umum sore hari. Menghafal malam hari. Mencuci juga, piket juga. Nyaris tidak ada waktu santri untuk santai berleha-leha.
"Mereka tidak boleh memegang hendphone di dalam lokasi pondok. Di sini hanya boleh megang kitab saja. Olah raga juga dalam lokasi pondok. Hanya ketika mencari kayu bakar saja tiap hari Kamis, mereka refreshing sejenak, di luar komplek pesantren ini," kata Umi Ar beberapa waktu lalu, didampingi Pengurus Yayasan yang mengasuh pesantren itu; H. Ampera Salim.
Tetapi, sebutnya, karena rasa persaudaraan dan rasa kekeluargaan yang dalam, santri betah mengikuti semua aturan di pesantren ini.
Hafizah, salah seorang santri dari Mentawai, mangaku sangat senang berada di pondok pesantren ini. Sudah dua tahun dia tidak pulang ke Mentawai. Hanya pamannya saja yang datang ke pondok melihatnya sekali sebulan.
Begitu juga santri yang lain, hanya orang tuanya yang berkunjung melihat anaknya. Karena santri hanya dibolehkan pulang ke rumah waktu libur panjang saja. Seperti libur bulan puasa dan hari raya.
Tahu dari Medsos
Lutfi Caniago, lahir dan sekolah di Medan hingga tamat SMA. Sejak sebulan lalu dia mondok di pesantren ini.
Menurut Lutfi, neneknya dulu sudah lahir di Medan. Dia tahu sukunya caniago dari ibunya. Sedangkan ayahnya berasal dari Aceh. Ayahnya mengenal Ponpes Darul Ulum dari media sosial. Oleh sebab itu Lutfi disuruh menuntut ilmu agama ke situ oleh ayahnya.
Ikuti perintah sang ayah, maka sampailah dia di pondok ini sendirian. Dia diterima dengan senang hati oleh Guru Besar Darul Ulum H. Jakfar Tk. Imam Mudo.
Setelah mengikuti semua aturan di pondok ini, serta mengamati suasana sekitarnya, Lutfi merasa senang mondok di darul ulum. Sehari-hari selain mengaji, dia juga belajar kaligrafi bersama Ustadz Hafzan yang kini satu-satunya guru kaligrafi di Darul Ulum.(Musriadi Musanif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar