BANDIT. Rupanya ada yang struktural, ada pula nonstruktural. Kerjaannya sama saja. Modus, gaya, dan penampilan saja yang beda. Efeknya juga sama, mengambil sesuatu yang bukan miliknya untuk kemudian dimiliki.
Musriadi Musanif |
Bandit struktural biasanya disebut juga dengan koruptor. Dia berkeliaran dengan jabatan-jabatan yang hebat. Mengurus negara, mengurus perusahaan, berpolitik, dan sebagainya. Punya ruangan kerja yang bagus. Ada banyak staf yang mengitari, dan dilengkapi fasilitas-fasilitas mewah, menggunakan anggaran negara atau perusahaan.
Koruptor yang beroperasi di perusahaan, mungkin tidaklah masalah benar. Karena tidak ada rakyat atau negara yang dirugikan. Tapi kalau sudah beroperasi di institusi-istitusi negara, atau bekolaborasi dia dengan perusahaan swasta dan milik negara, maka semakin sengsaralah rakyat dibuat, semakin meranalah negara.
Guru besar Ilmu Hukum pada University of California; Gery Goodpaster, pada awal 2004 silam sudah mengingatkan, bandit-bandit yang menjarah kekayaan negara, merampas hak-hak rakyat, telah merajalela di negeri ini. Banyak kalangan, tambahnya, diprediksi akan semakin bersimaharajalela melakukan aksi perampasan kekayaan negara itu. Untuk kepentingan diri pribadi. Untuk keluarga dan kelompok partisan tertentu.
Bandit nonstruktural? Kebanyakan mereka berasal dari kalangan preman, yang sudah beberapa kali diusahakan memberantasnya oleh kepolisian, tapi tak kunjung hilang. Preman itu ada yang preman beneran, ada juga yang menjadi preman karena tak punya pekerjaan alias pengangguran, oknum-oknum bersenjata yang dipecat, dan lain-lain.
Pada masa-masa tertentu, preman nonstruktural memang dengan mudah bisa ditangkap polisi. Biasanya karena operasi-operasi tertentu, setelah kepala negara atau kepala kepolisian marah, karena warga mengeluh dipalak, dirampok, diperas, dan diancam.
Preman struktural justru sulit bisa dijangkau aparat. Sistem kerjanya rapi. Mereka sulit terjangkau hukum. Bila ada yang tertangkap, biasanya mereka tidak cemas, tapi malah senyum-senyum, terkadang senyumannya menggoda sambil tersipu malu, tapi lebih sering senyum “biarlah sementara begini, nanti kan lepas juga”.
Bandit struktural ini ada yang menetap. Ada juga yang terus berkeliling ke segenap penjuru negeri. Naik pesawat terbang dan dijemput dengan mobil ber-cc di atas dua ribu. Bila kekayaan di suatu daerah sudah terkuras habis, dia akan berpindah ke daerah lain yang masih empuk.
Setelah rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun di Indonesia, negeri ini memasuki suasana baru. Namanya era reformasi. Demokrasi begitu menjadi dewa. Tapi apa yang kemudian terjadi? Bandit struktural dan nonstruktural tetap saja beroperasi dan melenggang nyaman. Sebanyak yang tertangkap, sebanyak yang lepas. Semakin tinggi hukum yang diberikan, kian intensif pula regenerasi perangai buruk itu.
Praktek-praktek menjarah kekayaan negara oleh bandit struktural, baik yang menetap maupun yang selalu bekeliling, semakin menjadi-jadi juga. Untuk bandit struktural keliling, biasanya juga didukung oleh bandit lokal yang menetap di suatu daerah.
Pola pikir ‘aji mumpung’ dan ‘kini giliran kami’ tertancap erat di benak mereka. Rakyat hanya bisa melihat sambil mengurut dada. Tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah, memberantas, dan melarangnya. Rakyat hanya diperbolehkan membayar ekstra, dikenai pajak, menerima kerugian, pengalihan dana, dan sejenisnya.
Dr. Nono Anwar Makarim dari Yayasan Aksara dan LP3ES pernah berujar; Rakyat sudah lama bersaksi, bagaimana seorang pejabat yang korupsi diperiksa, ditahan, diduga diperas oleh pemeriksa, dituntut, lalu kemudian dibebaskan di pengadilan. ‘’Penangkapan dan penahanan pejabat oleh aparat penegak hukum, sudah lama jadi bahan lelucon umum,’’ ujarnya.(MUSRIADI MUSANIF/wartawan utama. Artikel ini ditulis ulang dan diedit seperlunya, berasal dari Singgalang, Edisi Minggu 4 Januari 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar