Dosen Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta dan LDK PP Muhammadiyah
HADIS yang sangat populer disampaikan oleh banyak ustad dalam berbagai kesempatan mimbar Ramadhan, “Man shoma romadhona imanan wahtisaban, ghufirolahu mataqoddama min dzanbih” (siapa yang berpuasa ramadhan dengan dasar iman dan perhitungan, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu).
Tentu muncul pertanyaan dari kita, puasa yang bagaimana? Bagaimana kualitas puasanya? Bagaimana cara melihat kualitas puasa pada diri kita masing-masing, karena puasa hanya yang berpuasa dan Allah yang mampu memberikan penilaian.
Dalam pembelajaran sekolah, guru menilai siswa tentang apa yang diajarkan dalam dua periode utama, Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) ditambah dengan ujian harian dalam beberapa aspek, pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Demikian juga di perguruan tinggi, kehadiran, tugas individual dan kelompok, UTS dan UAS. Permasalahan ujian di sekolah dan ujian di perguruan tinggi yang dilakukan test kemampuan dan penguasaan siswa terhadap materi ajar (mastery fo learning) yang telah dilalui siswa/mahasiswa selama pembelajaran/perkuliahan. Bagaimana hal nya dengan program dan kegiatan? Penilaian program dan kegiatan tentu perlu menggunakan model penilaian (assessment) yang berbeda dengan pembelajaran/perkuliahan.
Model yang sangat sederhana yang perlu dilakukan, pertama, tentu kita mengidentifikasi subjek dari program (antecedent), untuk mendahului dari proses kegiatan yang tengah dievaluasi. Kedua, mengidentifikasi item kegitan yang tengah dievaluasi (transaction), proses kegiatan dan interaksi serta kualifikasi kegiatan. Ketiga, menilai hasil kegiatan, kualitasnya (outcome).
Bila metodologi di atas dikaitkan dengan pelaksanaan puasa, maka perlu untuk menilai, pertama, terkait dengan manusia dan kemanusiaan kita. Al-Qur’an menggariskan bahwa manusia disebut dengan basyar, biologis, anatomis dan personality. Insan, psikologis dan carakteristic. Ins, humanis, competence dan kepakaran. An-nash, sosiologis, dan ekonomi.
Bani Adam, antropologis, budaya dan peradaban. Semua dimensi kemanusiaan tersebut memiliki quantinum positif dan negatif. Pengarah ke jalan positif dan negatif adalah nafsu. Nafsu berinteraksi dengan pembisik kebaikan dan pembisik keburukan. Pembisik kebaikan qiromankhatibin yanglamu nama tafghalun, pembisik keburukan wasswisufi syudurinnas minal jinnati wannas.
Puasa dalam hal ini mentransformasikan nafsu dari tingkat amarah (dorongan keburukan) menjadi lawwamah (dorongan keburukan dan juga kebaikan). Dari lawwamah atau dari amarah langsung menjadi muthmainnah (jiwa yang telah mengalami ketenangan). Puasa juga mempertahankan kondisi jiwa ini menjadi senantiasa dalam wilayah muthmainnah dan kosisten sepanjang hayat (istqomah) sampai menemui Allah SWT.
Kedua, pelaksanaan puasa, berawal dari niat dengan sandaran berbagai hal, karena ikut keluarga, malu dengan teman, untuk pencitraan, sampai pada akhirnya hanya karena perintah Allah SWT. Kelurusan niat puasa berkorelasi dengan pelaksanaan puasa dari hanya menahan haus, lapar dan berhubungan suami istri, (puasa awwam) menjadi menjaga seluruh panca indera dari hal-hal yang merusak puasa.
Mata terjaga dari penglihatan yang tidak benar, telinga terjaga dari mendengar yang kurang baik, tangan terjaga untuk memegang yang baik-baik, kaki terjaga untuk melangkah ke tempat yang terpuji. Semua yang dilakukan disandarkan kepada Allah SWT menjadi kepribadian muhsinin (puasa qawwas). Lebih meningkat lagi puasa sebagai bagian dari kehidupan, fokus perhatian hanya tertuju kepada kualitas puasa (qawwas bil qawwas).
Ketiga, memperhatikan dan menghitung secara seksama dan akurat, terkait dengan buah puasa dalam kehidupan nyata. (QS. Al-Baqarah (2): 177): (1) Menjaga konsistensi dan kadar keimanan untuk tetap stabil pada gelembung yang tinggi, mengantisipasi secara rapi, kuat, dan kokoh ke arah penurunan keimanan di dalam dada;
(2) Meningkatkan kepedulian terhadap sesama, karib kerabat, anak yatim, orang miskin, para peminta-minta dan para pejuang pemberdayaan sebagai wujud nyata dari perilaku suka memberi (philantropy behaviour); (3) Berupaya meningkatkan integritas diri (self integrity) dengan senantiasa menjaga konsistensi shalat dan zakat serta janji-janji yang sudah terikrarkan; (4) Membangun kekuatan diri untuk tetap sabar dan kokoh (self defense mechanism) dalam menghadapi penderitaan, sebagai ujian Allah SWT di tengah kehidupan.
Dalam konteks lain menjadikan diri paripurna dalam kemuhsinan, bila memang tergelinciri dalam perilaku fahsya (keji), menzalimi diri sendiri karena jebakan dan kelalaian untuk segera bertaubat kepada Allah SWT (Qs. Ali-Imran (3):135). Dengan pertaubatan, memutus rantai kemasiatan dalam diri, kembali ke jalan kebanaran dan istqomah sepanjang hayat sampai bertemu dengan Allah SWT.
Tiga dimensi inilah yang perlu kita ukur dalam bentuk skala pada diri masing-masing tatkala selesai sahur menjelang masuk waktu subuh: dalam rangka mengamalkan hadits Nabi: “Pada setiap malam, Allah SWT turun ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Dan Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan aku ampu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Langkah pengukuran yng dilakukan, pertama perubahan diri (self transformation); personality, caracter, competence, sosialisasi, culture, senantiasa mengarah kepada nilai positif. Kedua, kualitas puasa; awwam, qawwas dan qawwas bil qawwas, meningkat ke arah qawwas bil qawwas.
Ketiga, tingkat muhsinin, sodiqun dan muttaqien yang telah dicapai, pada tingkatan tinggi sekali, tinggi, cukup dan sedang. Kualifikasi, tingkatan, dan justifikasi hanya diri kita dan Allah SWT yang mengetahui, yang penting istiqomah dalam tingkatan nafsu muthmainnah, sehingga kembali kepada Allah dengan husnul khatimah. (Qs. Al-Fajr (89):27-30).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar