Media Massa Edisi Cetak - Potret Kita | Ini Beda

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

12 Agustus 2022

Media Massa Edisi Cetak

Oleh Musriadi Musanif, S.Th.I

(Wartawan Utama, Staf Pengajar dan Instruktur Jurnalistik)



MEDIA massa bertiras tinggi, wilayah edar nasional dan internasional, berjaya dalam menuntun tren dunia, kini sudah banyak yang menghentikan edisi cetaknya. Mereka beralih ke edisi online. Oplag besar tinggal cerita.


Begitulah realitas yang dihadapi koran, tabloid, dan majalah saat ini. Edisi cetak itu berbiaya tinggi, wilayah distribusi terbatas, kalah cepat, dan kehabisan ruang pembaca, akibat diapit keras oleh media-media online berbasis internet.


Dulu sempat ada pendapat, media massa cetak bakal diremuk-redam oleh media massa televisi. Kue iklan habis mereka sedot. Pembaca beralih jadi pemirsa. Sungguh, sebuah bayangan yang mencemaskan. Kini? Eh, televisi itu juga bakal bertekuk lutut kepada media massa online, baik yang dikelola profesional maupun media sosial dan media asal-asalan.


Majalah beroplag besar, Newsweek, didirikan pada tahun 1933, dan amat dikenal luas di Amerika Serikat, Eropa, dan berbagai belahan dunia, menghentikan edisi cetaknya sejak 31 Desember 2013. Manajemen Newsweek mengaku, mereka tak berdaya lagi di bawah tekanan yang menimpa industri media cetak dari media berbasis internet yang dengan mudah bisa diakses publik dari situs web, tablet, smartphone, dan sejenisnya.


Majalah pria dewasa, Penthouse, oplagnya sempat menembus 5,6 juta eksemplar. Kondisinya juga semakin terjepit, hingga akhirnya menghentikan penerbitan edisi cetak, setelah setia menemui pembacanya lebih dari 50 tahun. Sejak 18 Januari 2016, Penthouse menyusul kompetitornya Majalah FHM dan Playboy yang telah duluan menghentikan edisi cetak.


Pukulan hebat juga dialami banyak surat kabar harian di Amerika, Eropa, Australia, dan beberapa negara Asia. Jumlah eksemplar terbitnya mengalami penurunan dari hari ke hari. Sejak 2004, di Amerika Serikat sekitar 1.800 media cetak tutup. Rata-rata 100 koran tutup setiap tahun.


Iklannya juga mulai tersedot oleh media-media online yang umumnya menawarkan tarif jauh lebih murah. Sungguh, ini menjadi tantangan global bagi media-media di dunia yang mengawali debut besarnya melalui edisi cetak.


Era digital ini juga menyerang media-media nasional Indonesia. Koran Sinar Harapan yang terbir sejak 1962 dan tumbuh jadi media berpengaruh dengan oplag besar, juga sudah berhenti menerbitkan edisi cetak. Disusul kemudian Jakarta Globe, Harian Bola, Sinar Harapan, dan beberapa nama lainnya. Majalah Sastra Horison yang amat berpengaruh di dunia kesusatraan, juga sudah menghentikan penerbitan edisi cetak .


Ada juga media cetak di Indonesia yang diam-diam menghentikan penerbitan edisi minggunya. Atau merestrukturisasi rubrik dan mengurangi jumlah halaman edisi Minggu, karena tidak berimbangnya lagi biaya produksi dan distribusi dengan pendapatan perusahaan penerbit.


Pada 2014 lalu, Kelompok Kompas Media (KKG) dikabarkan juga telah menutup sembilan media massa cetaknya. Sementara sepanjang 2015, sedikitnya 16 surat kabar dan 38 majalah beroplag cukup besar di Indonesia telah menghentikan penerbitannya.


Data Remeltea Media per 15 September 2019, sudah banyak media massa cetak berskala perusahaan besar dengan oplag ratusan ribu eksemplar mengakhiri penerbitannya versi cetak, yaitu Tabloid BOLA, Bola Vaganza, Tabloid Cek & Ricek, Rolling Stone Indonesia, Majalah HAI, dan Majalah Kawanku.


Berikutnya Majalah GoGirl, Cosmo Girl Indonesia, Esquire Indonesia, For Him Magazine Indonesia (FHM), Maxim Indonesia, NYLON Indonesia, Majalah Commando, High End Teen Magazine, Grazia Indonesia, Harian Sinar Harapan, Tabloid Soccer, Harian Bola, Harian Jakarta Globe, dan Harian Indonesia Finance Today.


Selanjutnya Majalah Chip, Majalah Tech Life, Reader’s Digest Indonesia, National Geographic Traveler Indonesia, Majalah Motor, Koran Tempo Minggu, Majalah Trax, Jurnal Nasional, Majalah Penthouse, Slam Indonesia, dan banyak lagi.


Selain merosot tajamnya oplag media cetak, pukulan hebat juga datang seiring dengan semakin seretnya pendapatan iklan.


Berdasarkan data yang dirilis katadata.co.id, dengan mengutip data dari AC Nielsen, diketahui nilai belanja iklan di Indonesia mencapai Rp135 triliun pada semester I 2022. Pada paruh pertama tahun ini, televisi dan media digital terus menggerogoti pangsa pasar iklan media cetak dan radio.


Pangsa pasar iklan radio nasional per semester I 2022 hanya tersisa 0,3 pesen, turun 13 pesen (yoy) dari periode yang sama tahun lalu.


Sementara pangsa pasar iklan cetak hanya sebesar 4,8 persen, turun 6 persen (yoy). Sebaliknya, pangsa pasar belanja iklan televisi nasional meningkat menjadi 79,7 pesen. Pangsa belanja iklan digital juga kini berada di dua digit, yaitu sebesar 15,2 pesen. Tak hanya di skala nasional, televisi juga meraih pendapatan iklan terbesar secara global.


 Meski begitu, raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan Amazon bertumbuh pesat. Jika digabung, pendapatan iklan Google Search, Meta, dan Amazon tercatat sebesar US$310 miliar. Ini jauh melebihi pendapatan iklan semua televisi di dunia yang sebesar US$171 miliar.


Mencermati realitas seperti, kita pun mengkhawatirkan, jangan-jangan lima atau sepuluh tahun lagi, muncul pula jenis media massa lain; tidak media cetak, bukan pula media elektronik dan media online berbasis digital. Hanya Allah yang tahu! ***


Penulis adalah Korda Harian Singgalang Tanah Datar, Sekretaris PWI Kabupaten Tanah Datar, Ketua Harian Forum Wartawan Kota Serambi Mekah, Pimpinan Redaksi potretkita.net; MJNews.id; dan Anggota Dewan Redaksi fajarharapan.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad